'Bayangan Jokowi di Balik Kasus Nadiem Makarim'
Ketika Kejaksaan Agung resmi menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook, publik tidak hanya terperangah pada jatuhnya seorang mantan menteri muda yang pernah dielu-elukan sebagai ikon inovasi.
Kasus ini sekaligus menyingkap bayangan yang lebih besar: kepemimpinan Presiden Joko Widodo sendiri.
Sebab, tak ada kebijakan menteri yang berdiri sendiri tanpa arahan, restu, dan kendali dari kepala negara.
Jokowi dan Obsesi Digitalisasi
Program laptop untuk sekolah adalah bagian dari proyek besar digitalisasi pendidikan yang menjadi kebanggaan Jokowi. Sejak pandemi, ia menekankan perlunya transformasi teknologi dalam dunia pendidikan.
Namun, di balik jargon itu, negara justru tergelincir pada praktik korupsi yang merugikan keuangan hingga hampir Rp2 triliun.
Artinya, proyek yang seharusnya menjadi investasi masa depan justru berubah menjadi ladang perburuan rente.
Publik berhak bertanya: di mana peran presiden ketika kebijakan besar seperti ini dijalankan?
Apakah Jokowi hanya sekadar melempar gagasan, lalu membiarkan pelaksanaannya diseret arus kepentingan bisnis dan politik?
Ataukah ini bagian dari kultur birokrasi yang sengaja dipelihara dalam era pemerintahannya?
Kultur Nepotisme dan Lemahnya Pengawasan
Kasus Nadiem hanyalah satu potret dari pola lebih besar: lemahnya pengawasan dalam kabinet Jokowi.
Sejak awal, Jokowi dikenal gemar memilih menteri bukan semata karena kapasitas teknokratis, melainkan karena kompromi politik dan kebutuhan pencitraan.
Nadiem, dengan reputasi pendiri Gojek, dipilih bukan karena pengalaman di dunia pendidikan, melainkan karena mampu menjual narasi “anak muda, inovatif, progresif.”
Namun, di balik citra itu, tidak ada sistem kontrol yang ketat untuk memastikan anggaran triliunan rupiah benar-benar sampai ke tujuan. Jokowi seakan menutup mata terhadap kelemahan implementasi kebijakan.
Akibatnya, jargon “Merdeka Belajar” yang kerap ia gaungkan kini berbalik menjadi “Terbelenggu Korupsi.”
Pertanggungjawaban Politik
Dalam sistem presidensial, seorang menteri memang bisa ditetapkan sebagai tersangka secara individu. Namun, tanggung jawab politik tetap bermuara pada presiden.
Jokowi tidak bisa lepas tangan dan membiarkan kasus Nadiem dipandang sekadar kesalahan pribadi.
Bukankah menteri adalah pembantu presiden? Jika seorang pembantu terjerat kasus besar, maka otomatis presiden pun tercoreng.
Sayangnya, pola ini bukan hal baru. Di era Jokowi, sudah banyak menteri yang berakhir di meja hijau—dari Edhy Prabowo hingga Juliari Batubara.
Kini, Nadiem menambah daftar panjang itu. Pertanyaannya: apakah ini sekadar kebetulan, ataukah tanda nyata bahwa Jokowi gagal membangun kabinet yang bersih?
Warisan yang Retak
Jokowi kerap membanggakan pembangunan fisik—jalan tol, bendungan, hingga Ibu Kota Nusantara.
Namun, kasus Nadiem memperlihatkan rapuhnya warisan di sektor nonfisik, khususnya pendidikan.
Investasi teknologi pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi masa depan justru berubah menjadi skandal memalukan.
Inilah ironi terbesar: presiden yang ingin dikenang sebagai bapak pembangunan justru meninggalkan jejak keruntuhan di bidang moral dan tata kelola pemerintahan.
Penutup
Kasus Nadiem Makarim bukan sekadar kisah jatuhnya seorang menteri muda.
Ia adalah refleksi kegagalan sistemik dari kepemimpinan Jokowi—kepemimpinan yang gemar menjual mimpi tanpa memastikan fondasi etika dan pengawasan berjalan kokoh.
Pada akhirnya, publik akan mencatat bahwa di balik laptop yang gagal menyala di ruang-ruang kelas, terdapat presiden yang gagal menyalakan bara kejujuran dalam pemerintahannya.
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Mahfud MD Wanti-wanti Kejagung dalam Rumuskan Kasus Nadiem
Berkas Perkara Kasus Affan Kurniawan Dilimpahkan ke Bareskrim karena Ada Unsur Pidana
5 Pengurus HIPMI Lampung Dinonaktifkan usai Pesta Narkoba
Sopir Rantis Brimob yang Lindas Affan Kurniawan Didemosi 7 Tahun