Kemarahan Massa dan Peran Buzzer Dibalik Joget DPR

- Senin, 01 September 2025 | 08:30 WIB
Kemarahan Massa dan Peran Buzzer Dibalik Joget DPR



SETIAP gelombang besar protes rakyat selalu ada pemicu yang menjadi percikan api. Aksi anarkis di Jakarta akhir Agustus 2025 lalu setidaknya disulut oleh dua variabel penting. Pertama adalah framing joget anggota DPR dalam acara hiburan HUT RI ke-80 yang viral di berbagai platform media sosial. Kedua adalah tewasnya Affan, seorang pengemudi ojek online, yang terlindas kendaraan taktis Polri saat aksi berlangsung di Gedung DPR. 


Kedua peristiwa ini sama-sama memicu emosi publik, menciptakan kemarahan kolektif, dan mempercepat eskalasi kerusuhan. Opini ini akan lebih menyoroti soal joget anggota DPR yang diframing secara provokatif, karena di sanalah akar manipulasi informasi dan permainan opini publik menemukan momentumnya.


Sejarah politik Indonesia berulang kali menunjukkan bahwa emosi rakyat mudah digerakkan oleh simbol-simbol sederhana, dengan sebuah ucapan, potongan gambar, atau rekaman video singkat bisa menjadi amuk massal brutal yang selama ini terpendam. Peristiwa framing joget DPR pada HUT RI ke-80 menjadi salah satu contoh dahsyat.


Tanggal 17 Agustus 2025, Gedung DPR Senayan saat itu tidak hanya menjadi arena upacara kenegaraan, tetapi juga panggung hiburan kecil setelah prosesi resmi. Sejumlah anggota DPR, diiringi musik riang, ikut bergoyang. Bagi mereka, itu hanyalah ekspresi ringan dalam suasana hari jadi Republik. Namun, kamera dan media sosial punya logikanya sendiri. Video joget dipotong lalu dipasang narasi “DPR joget gembira karena gaji naik.”


Dalam sekejap video viral. Warga yang sehari-hari cemas dengan harga beras yang melambung, listrik yang terus naik, dan jeratan utang negara yang makin besar. Badan Pusat Statistik mencatat inflasi Indonesia pada Juli 2025 berada di angka 4,2 persen, dengan kenaikan harga pangan sebagai pendorong utama. Utang warisan pemerintah Jokowi pun menembus 8.200 triliun rupiah pada pertengahan 2025, atau hampir 40 persen dari Produk Domestik Bruto.


Apalagi ditambah dengan video oknum anggota DPR yang melontarkan kalimat kontroversial yang meremehkan jeritan rakyat. Maka kemarahan pun pecah. Ajakan “kepung DPR” 25 dan 28 Agustus 2025 tersebar masif di TikTok, Instagram, hingga grup WhatsApp keluarga.


Dalam dua pekan, suasana sosial memanas. Keadaan semakin membara ketika kabar duka menyebar, Affan, pengemudi ojek online (29 tahun), tewas terlindas kendaraan taktis Polri saat demonstrasi berlangsung. Foto mayatnya tergeletak di aspal, diselimuti jaket hijau ojek online, beredar luas di media sosial.


Tewasnya Affan menjadi simbol rakyat kecil yang berjuang di jalan, lalu meninggal dalam pusaran konflik. Komunitas ojek online pun bergerak cepat, melakukan doa bersama, aksi solidaritas di berbagai kota. Tewasnya Affan menambah legitimasi moral bagi massa untuk melawan, sekaligus mempertegas bahwa kekerasan aparat Kepolisian memperburuk situasi.


Tak bisa dipungkiri, rakyat Indonesia sudah lama menyimpan kekecewaan terhadap parlemen dan parpol. Survei LSI 2024 menunjukkan kepercayaan publik terhadap DPR hanya berkisar 39 persen, ketika video joget itu dipelintir, rakyat merasa mendapat simbol konkret betapa elit politik hidup penuh kemewahan dan fasilitas tunjangan, sedangkan rakyat menderita. 



Halaman:

Komentar