Noel, Kutukan IEG (Intrik Ekstrem dalam Gelap)

- Senin, 25 Agustus 2025 | 07:30 WIB
Noel, Kutukan IEG (Intrik Ekstrem dalam Gelap)

Malam itu, dua kekasih yang baru terikat pernikahan, tak bisa tidur. Mereka duduk di beranda, memandang bulan yang pucat tersangkut di dahan-dahan pohon kenari. Diam mereka lebih berbicara daripada segala kata-kata.


“Bagaimana mungkin,” desis sang istri akhirnya, air matanya membasahi bahu suami, “cinta kita yang suci harus berakhir pada sebuah keputusan bagai pedang? Bukankah dia adalah daging dari dagingku, darah dari darahku? Bukankah setiap jiwa berhak untuk bernapas?”


Mereka berpelukan erat, mencoba menahan gempa di jiwa dan di raga. “Kadang,” jawab suami, suaranya bergetar menahan duka, “Seorang ibu tak hanya melahirkan untuk sebuah keluarga, tetapi juga untuk sebuah bangsa. Kadang, seorang ayah tak hanya melindungi anaknya, tetapi juga memilih untuk melindungi ribuan anak lain dari badai yang akan ditabur oleh putranya sendiri. Ini bukan kejahatan. Ini adalah pengorbanan yang terlalu berat untuk dipahami oleh dunia.”


Mereka bagai dua perahu di lautan yang gelap, dihantam gelombang takdir yang kejam. Cinta mereka pada sang janin adalah lautan itu sendiri, dalam dan luas. Namun, di kejauhan, ada mercusuar yang memperingatkan tentang karang penghancuran.


Hari penentuan itu tiba. Di ruangan putih dan sunyi, bagai kain kafan yang membentang, sang istri terbaring, matanya kosong menatap langit-langit. Tangannya menggenggam erat jemari suami, mencari kekuatan di telapak yang juga gemetar dan berkeringat dingin.


Tabib datang dengan wajah yang diselimuti duka yang terpaksa. Ia hanya seorang pelaksana dari skenario besar alam semesta.


Sebelum segalanya dimulai, sang istri terpejam. Dalam gelap, ia berbicara pada anaknya untuk terakhir kali.


“Wahai calon cahaya pandanganku,” bisiknya dalam hati, bagai sebuah doa yang paling puitis dan teramat perih, “Engkau datang dari bintang-bintang, membawa misi yang terlalu besar untuk bahu kami, orang tuamu yang lemah. Kami mencintaimu lebih dari nyawa. Tapi kasih itu harus kami wujudkan dengan melepaskanmu. Agar kau tak menjadi tulah. Agar bangsa ini tak menjadi ladang pembantaian. Pergilah kembali dengan tenang. Kami akan menunggumu di ujung waktu, di mana takdir bukan lagi sebuah kutukan.”


Rimbun tangis tumpah dari sudut matanya, mengalir seperti sungai kesedihan yang abadi.


Dan segalanya pun berakhir.


Mereka pulang ke rumah yang sunyi. Sepi yang tak berbunyi. Meski senja masih merah jingga bak apel ranum, tetapi terasa sangat pahit. Angin masih berbisik pada eukaliptus, tetapi seperti menyanyikan kidung lara.


Sang suami memandang istri yang terdiam, bagai patung yang kehilangan ruhnya. Ia tahu, rahim kekasih kini kosong, tetapi jiwa mereka penuh dengan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh.


Mereka telah melubangi kapal sendiri: mengambil nyawa calon buah hati untuk menyelamatkan sebuah bangsa dari prahara yang hanya diketahui oleh takdir. Itu bukanlah dosa, tetapi sebuah tragedi. Bukan kejahatan, tetapi pengorbanan yang hanya layak dicatat oleh para malaikat dengan tinta emas dan air mata.


Dan di atas bukit, di mana angin selalu berhembus dengan bebas, mereka duduk berpelukan: menangis dan menangis untuk anak yang tak akan pernah lagi melihat senja, untuk cinta yang harus dikubur demi sebuah tanggung jawab yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.


Mereka adalah Musa dan Khidir di zaman yang kelam, memilih untuk dilaknat sebagai orang tua yang kejam demi dicintai sebagai warga negara yang bijak. 


Dan dalam kesunyian itu, mereka mendengar sebuah bisikan, mungkin dari angin atau dari langit, “Yang terpaksa kalian lakukan hari ini, adalah cinta yang paling menyakitkan dan paling suci.” 


Sepasang kekasih ini makin terhempas dalam tangis tak berujung seraya berkata, "Wahai putra kami Noel. Demi kemaslahatan bangsa, lebih baik kau tak pernah dilahirkan."



(Penulis adalah wartawan senior)


Halaman:

Komentar