BAYANGKAN sebuah bandara megah berdiri di tengah ladang sunyi. Landasan pacu yang mulus, terminal yang luas, dan kursi-kursi empuk yang setia menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Selamat datang di Bandara Internasional Kertajati monumen keangkuhan perencanaan, kuil megah dari mimpi yang terlalu mulia untuk rakyat biasa.
Dalam berita yang baru-baru ini beredar, Dedi Mulyadi -mantan bupati, mantan wakil rakyat, dan kini Gubernur Jawa Barat mengeluh: "setiap tahun, pemerintah Jawa Barat harus nombok Rp 60 miliar hanya demi memastikan bandara ini tetap menyala". Ya, menyala, bukan berfungsi.
Mari kita telusuri akar kisah ini. Kita mulai dari satu nama yang kini tampaknya lebih suka diam: Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat dua periode dari PKS. Di zamannya, hasrat provinsi ini untuk memiliki bandara internasional tumbuh subur seperti rumput liar di musim hujan. Hasrat yang konon katanya berangkat dari semangat melayani rakyat, meski ujung-ujungnya tampak lebih seperti proyek legacy personal.
Dari awal, semua orang yang waras tahu: membangun bandara dua jam dari Bandung adalah tindakan yang menantang logika dan menyesatkan geografis. Tak ada akses transportasi memadai, tak ada kejelasan pergerakan logistik, dan tak ada jaminan bahwa penumpang akan sudi menempuh perjalanan sejauh ziarah demi naik pesawat.
Namun, jangan remehkan semangat nasionalisme proyek. Ketika dana daerah tak lagi mampu menopang hasrat membangun langit, tibalah sang penyelamat: pemerintah pusat. Rezim Jokowi dikenal karena fetish nya pada infrastruktur, dari bendungan sampai bandara di antah-berantah turun tangan. Dana mengalir deras, bak air bah yang tak sempat disalurkan ke sekolah rusak atau puskesmas roboh. Bandara pun selesai.
Kamera-kamera disiapkan. Pita digunting. Spanduk “Selamat Datang di Kertajati” terbentang lebar. Sayangnya, yang datang hanya angin dan suara jangkrik. Warga Bandung lebih memilih ke Soekarno-Hatta. Logikanya sederhana: kenapa harus ke Majalengka kalau bisa ke Jakarta dengan tol dan kereta cepat? Lagipula, yang suka tersesat biasanya bukan penumpang pesawat, tapi perencana proyek.
Kini Kertajati hidup segan, mati tak boleh. Pemerintah Jawa Barat harus menanggung beban finansialnya, seolah-olah ini adalah anak haram dari pernikahan politik pusat-daerah yang dipaksakan. Dari anggaran publik yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki jalan rusak, sekolah bocor, dan menyelamatkan stunting, justru dialihkan untuk menutupi biaya listrik dan operasional bandara yang lebih cocok dijadikan lokasi syuting “Dunia Lain”.
Feasibility Study: Antara Akal Sehat dan Panggung Pencitraan
Kisah Kertajati seharusnya menjadi studi wajib di semua fakultas perencanaan publik, dengan catatan kaki besar: "Beginilah hasilnya jika feasibility study dikalahkan oleh ambisi pencitraan."
Feasibility study (FS), atau studi kelayakan, adalah jantung dari setiap proyek besar. Ia bukan sekadar dokumen administratif untuk memenuhi syarat tender, tetapi panduan utama yang menentukan apakah sebuah proyek layak secara ekonomi, sosial, teknis, dan lingkungan. Di tangan perencana sejati, FS adalah rem yang mencegah mobil proyek menabrak dinding kenyataan. Di tangan politisi pencitraan, FS adalah lembaran formalitas untuk menghalalkan nafsu popularitas.
Sayangnya, di negeri yang politiknya lebih sibuk mengejar elektabilitas daripada keberlanjutan, FS sering dikerdilkan menjadi sekadar pembenaran proyek, bukan alat penyaring ide buruk.
Proyek-proyek infrastruktur selama rezim Jokowi, meski mengagumkan dari sisi kuantitas, terlalu sering gagal dari sisi kualitas dan keberlanjutan. Jalan tol yang sepi, pelabuhan tanpa kapal, bandara tanpa pesawat, dan Ibu Kota Negara (IKN) yang kini perlahan ditinggalkan, mulai dari investor hingga para kontraktor. IKN bahkan sudah mulai diisi oleh spesies dominan baru: raja tikus yang berkeliaran bebas setelah Raja Jawa lengser. Kini, Prabowo dan rakyat nya dengan tas kosong berisi utang besar harus menambal warisan megah namun hampa ini.
Negara Bukan Developer
Pembangunan nasional bukan proyek properti. Ia tak boleh dibangun hanya karena “kelihatan keren dari atas”. Ia membutuhkan data, riset, pertimbangan jangka panjang, partisipasi masyarakat, dan paling penting kerendahan hati untuk tidak mengutamakan ego kekuasaan.
Negara bukan developer real estate yang bisa membangun demi “show unit”, lalu berharap rakyat membeli. Negara adalah pengelola uang rakyat. Dan setiap sen yang dibelanjakan apalagi untuk proyek triliunan harus melalui proses yang sangat akuntabel dan berbasis kajian ilmiah, bukan perasaan “ingin meninggalkan jejak sejarah”.
Kertajati: Monumen Gagal yang Tak Pernah Diakui
Bandara Kertajati kini menjadi monumen pengingat bahwa pembangunan tanpa arah adalah musibah yang dibungkus spanduk keberhasilan. Ia adalah simbol bagaimana ego politik bisa merusak logika pembangunan, bagaimana rakyat disuruh menyesuaikan diri pada bangunan, bukan sebaliknya.
Dan seperti proyek-proyek gagal lainnya, ia tak pernah dikoreksi. Tak ada audit besar-besaran, tak ada evaluasi menyeluruh, apalagi permintaan maaf. Yang ada hanyalah saling lempar tanggung jawab: pusat menyalahkan daerah, daerah menyalahkan pusat, dan rakyat? Disuruh tetap bayar pajak.
Jika ada yang ingin membangun monumen “apa yang salah dengan pembangunan di Indonesia”, cukup kirim turis asing ke Kertajati. Di sana mereka bisa melihat langsung: runway yang panjang, gedung yang mewah, dan kekosongan yang menyayat.
Karena di negeri ini, yang paling cepat dibangun bukan infrastruktur, tapi narasi keberhasilan.
Catatan Penulis: Semua pembangunan harus dimulai dari perencanaan yang masuk akal, bukan dari nafsu pencitraan. Negara bukan panggung teater politik. Rakyat butuh fungsi, bukan kemegahan kosong.rmol.id
OLEH: PAUL EMES
Penulis adalah pemerhati kebijakan publik.
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Jokowi Ngaku KKN Tahun 1985, tapi Dokumen yang Diungkap Bareskrim Tertulis 1983 — Mana yang Benar?
Mahasiswa Aceh Desak Presiden Prabowo Copot Tito Karnavian: Pentolan Geng Solo Biang Kerok Masalah 4 Pulau!
INFO! Fakta Baru Terungkap, Kasmudjo Ternyata Bukan Dosen Pembimbing Skripsi atau Akademik Jokowi
Ketahuan Deh! Pengacara Jokowi Keceplosan Sebut Nama Pratikno Turun Tangan Kasus Ijazah Palsu