Warisan Yang Membusuk: Dari Penjajahan Belanda Hingga Kepemimpinan Jokowi

- Rabu, 11 Juni 2025 | 13:10 WIB
Warisan Yang Membusuk: Dari Penjajahan Belanda Hingga Kepemimpinan Jokowi


Warisan Yang Membusuk: 'Dari Penjajahan Belanda Hingga Kepemimpinan Jokowi'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


“Belanda menjajah kita selama 350 tahun,” begitu narasi yang telah menjadi semacam mantra dalam buku-buku sejarah, pidato kenegaraan, bahkan dalam obrolan warung kopi. Sebuah fakta pahit yang kita warisi sebagai bangsa. 


amun, ironisnya, dari penjajahan yang disebut kejam dan penuh penghisapan itu, tersisa jejak-jejak sistem yang masih bisa kita warisi: sistem hukum yang terlembaga, sistem pendidikan yang berstruktur, sistem kesehatan yang terorganisir, hingga sistem transportasi dan tata kelola pertanian yang terencana. 


Kita memang pernah dijajah, tapi kita juga pernah mewarisi—sebuah kontradiksi yang mengandung pelajaran besar tentang makna pembangunan dan peradaban.


Namun kini, setelah dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kita tidak sedang mewarisi jejak peradaban baru. 


Kita justru sedang menyaksikan keruntuhan demi keruntuhan, dari infrastruktur nilai hingga fondasi institusi. 


Bila Belanda mewariskan sistem, Jokowi justru mewariskan kebingungan. 


Bila penjajahan melahirkan institusi, Jokowi justru membiarkan institusi menjadi alat kekuasaan yang kian tumpul dan tak berfungsi.


Mari kita mulai dari sektor hukum. Hukum di era Jokowi tidak lagi menjadi fondasi keadilan, tetapi instrumen kekuasaan. 


Pengadilan seperti panggung drama, dan aparat penegak hukum lebih sibuk mengabdi pada kekuasaan ketimbang pada konstitusi. 


Tidak ada kepastian hukum, yang ada justru ketakutan rakyat terhadap penafsiran hukum yang bisa berubah tergantung kepentingan penguasa. Tidak ada warisan dalam hal ini, hanya luka dan trauma hukum yang mendalam.


Pendidikan pun tidak lebih baik. Alih-alih membangun sistem yang menumbuhkan daya kritis, sistem pendidikan kita kini hanya mencetak angka-angka dan prestasi semu. 


Menteri silih berganti, kurikulum berubah seenaknya, dan guru dibiarkan berjuang sendirian di tengah sistem yang tumpul dan birokratis. 


Di masa Belanda, meski pendidikan terbatas bagi bumiputra, namun sekolah-sekolah warisan mereka seperti STOVIA, HBS, hingga Sekolah Teknik dan Pertanian, meninggalkan jejak intelektual yang membentuk generasi kebangkitan nasional. 


Apa yang kita dapat dari era Jokowi? TikTok masuk kurikulum, dan kampus dijerat agar diam.


Sektor kesehatan tidak jauh berbeda. RS Cipto Mangunkusumo dulu dibangun Belanda sebagai RS pendidikan terbesar di Asia Tenggara. 


Kini, RS pendidikan kita tertatih, dan fasilitas kesehatan di pelosok hanya menjadi saksi bisu dari janji-janji kosong pembangunan. 


Kita membangun rumah sakit, tapi tidak membangun sistemnya. Kita membangun gedung, tapi tidak membangun rasa kemanusiaannya.


Lalu sistem pertanian—dulu, Belanda menjadikan Indonesia lumbung rempah-rempah dunia. 


Mereka memang mengeruk hasil bumi kita, tapi mereka juga membangun sistem irigasi, mengenalkan kebun-kebun modern, dan melakukan riset pertanian. 


Sekarang? Kita mengimpor beras, garam, dan jagung. Petani miskin, dan ketahanan pangan hanya tinggal wacana dalam pidato-pidato elite.


Sistem transportasi, pemerintahan, bahkan pos dan logistik pun pada zaman Belanda sudah berjejak. 


Dari jalur kereta api, pos pengiriman, hingga tata kota seperti Batavia dan Bandung yang dirancang dengan detail, semua itu warisan yang meski bercokol dari niat kolonial, tetap menjadi infrastruktur yang bisa dikembangkan. 


Sementara Jokowi? Hanya ada betonisasi dan megaproyek yang tidak berpijak pada keseimbangan ekologi dan kebutuhan riil rakyat. Jalan tol membentang, tapi ekonomi rakyat tak ikut menanjak.


Lalu apa yang diwariskan Jokowi?


Nepotisme. Politik dinasti. Pelemahan KPK. Pelecehan konstitusi. Pelemahan demokrasi. 


Utang luar negeri yang membengkak. Proyek Ibu Kota baru yang belum jelas kemanfaatannya, namun sudah menguras triliunan dari APBN. 


Tidak ada satu pun dari itu yang bisa dijadikan acuan anak bangsa. 


Tak ada nilai yang patut dicontoh, tak ada sistem yang layak dijaga, tak ada keberhasilan yang bisa dijadikan landasan masa depan.


Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa belajar dari sejarah. Tapi hari ini, kita malah mengingkari sejarah. 


Kita memusuhi masa lalu, tanpa sadar bahwa dari penjajahan pun kita pernah mendapat pelajaran. 


Ironisnya, dari pemerintahan anak bangsa sendiri, kita justru mewarisi kehancuran nilai.


Jika Belanda datang membawa peradaban sambil menjajah, maka Jokowi telah memimpin tanpa menyisakan arah. 


Ia mungkin telah membangun ribuan kilometer jalan, tapi gagal membangun satu jalan: jalan peradaban.


Dan itulah tragedi kita hari ini—bukan karena dijajah, tapi karena kehilangan arah di bawah pemimpin yang katanya merdeka. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar