Revolusi Diam: Parpol dan Strategi Sunyi Dalam Pusaran Skandal Ijazah Jokowi dan Isu Impeachment Gibran

- Jumat, 30 Mei 2025 | 14:20 WIB
Revolusi Diam: Parpol dan Strategi Sunyi Dalam Pusaran Skandal Ijazah Jokowi dan Isu Impeachment Gibran


Revolusi Diam: 'Parpol dan Strategi Sunyi Dalam Pusaran Skandal Ijazah Jokowi dan Isu Impeachment Gibran'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Di tengah riuh-rendah opini publik mengenai dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo dan isu pemakzulan terhadap Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, partai-partai politik Indonesia justru tampil dalam diam yang mencolok. 


Tidak ada satu pun partai besar yang menyatakan sikap tegas, baik mendukung maupun menolak. 


Mereka seolah bersatu dalam strategi membisu. Sebuah konsensus tanpa kata, setuju tanpa suara. 


Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa partai politik memilih strategi sunyi di saat badai tengah mengamuk?


Politik sebagai Seni Membaca Angin


Dalam politik elektoral, diam bukan berarti tidak tahu, melainkan menunggu arah angin. 


Menurut teori rational choice dalam ilmu politik, aktor politik bertindak berdasarkan kalkulasi rasional demi memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Dalam konteks ini, membisu adalah keputusan strategis. 


Ketika opini publik masih bergerak dinamis, dan kekuasaan lama belum sepenuhnya redup, mengambil sikap tegas adalah pertaruhan yang terlalu mahal.


Banyak partai tahu, bahwa ada bara yang tersembunyi di balik skandal ijazah Jokowi dan isu konstitusional yang melibatkan Gibran. 


Tapi mereka menimbang: siapa yang akan terbakar lebih dulu jika bara itu disulut? Maka diam menjadi pilihan aman. 


Sikap yang dalam istilah Gramsci bisa dianggap sebagai passive revolution, yakni perubahan sosial-politik yang dikendalikan dari atas melalui konsensus elite, bukan desakan dari bawah.


Strategi Bisu: Taktik Menunggangi Ombak


Dalam dunia perpolitikan modern, opini publik bukan hanya target, tetapi juga kompas. 


Banyak elite parpol memantau percakapan publik melalui media sosial, survei, bahkan bisik-bisik dalam kelompok kecil. 


Dalam kerangka agenda-setting theory, publik sebenarnya digiring untuk membicarakan apa yang media (dan elite) izinkan. 


Tapi ketika wacana seperti skandal ijazah dan impeachment muncul dari luar kendali mereka—seperti dari aktivis independen, LSM, atau akademisi luar sistem—reaksi partai menjadi lebih waspada.


Setuju tapi diam. Itu kesimpulan paling mungkin untuk menjelaskan sikap mereka. 


Bukan karena mereka percaya Jokowi benar-benar bersih, atau Gibran tak bersalah secara etika dan konstitusional. Tetapi karena mereka sedang menunggangi arus opini. 


Siapa yang lebih dulu bersuara, bisa saja diseret ke pusaran politik, dijadikan sasaran balik oleh rezim, atau kehilangan dukungan pemilih yang masih abu-abu.


Demokrasi yang Disandera Ketakutan


Fenomena ini juga menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang mengalami penyanderaan. 


Ketika partai—yang seharusnya menjadi kanal aspirasi dan kontrol kekuasaan—lebih takut pada kekuasaan daripada membela kebenaran, maka terjadi pembusukan fungsi institusional. 


Dalam teori sistem politik Easton, input masyarakat harus diolah dan diteruskan dalam bentuk kebijakan atau sikap politik oleh lembaga formal seperti parpol. Tapi jika input itu diblokir atau diabaikan, maka sistem kehilangan legitimasi.


Lebih dari itu, keberpihakan diam ini juga menandakan bahwa partai tidak lagi menjadi pelopor moral atau intelektual bangsa, melainkan sekadar operator kepentingan elektoral. 


Mereka membaca rakyat seperti membaca peta suara: bukan sebagai manusia yang butuh keadilan, tapi sebagai angka yang bisa dimanipulasi.


Ketakutan akan Balas Dendam


Tak dapat diabaikan pula bahwa diamnya partai politik bisa disebabkan oleh kekhawatiran akan balas dendam politik. 


Jokowi masih punya cengkeraman kuat atas aparat birokrasi, aparat hukum, dan sumber daya politik lainnya. Gibran akan segera berada di jantung kekuasaan. 


Siapa pun yang frontal menyerang saat ini bisa dengan mudah dijadikan musuh negara. Dalam iklim demokrasi yang sehat, seharusnya oposisi tak perlu takut. 


Tapi Indonesia kini tengah mengalami chilling effect, di mana kritik dibungkam bukan melalui larangan resmi, tapi melalui atmosfer intimidatif yang menakutkan.


Parpol dalam Perang Dingin Politik


Jadi, saat publik bertanya-tanya: “Mengapa partai-partai politik diam seribu bahasa?” Jawaban paling jujurnya mungkin adalah: mereka sedang mempersiapkan medan perang baru. 


Mereka diam bukan karena tak tahu, tapi karena sedang menyusun ulang posisi. 


Mereka membaca, mengukur, dan menghitung. Dalam game theory, ini disebut sebagai strategi wait and see. 


Jika publik terus mendesak, dan legitimasi Jokowi atau Gibran semakin tergerus, mereka akan muncul sebagai pahlawan. Tapi jika badai ini reda, mereka tak akan kehilangan apa-apa.


Namun, pertanyaan mendasarnya tetap menggantung: sampai kapan strategi diam ini bisa bertahan? 


Dalam politik, waktu adalah musuh. Dan publik yang dikhianati tak akan selamanya tinggal diam. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar