Dan ketika keaslian harus dibuktikan dengan menyandingkannya dengan tiga ijazah teman seangkatan, publik malah semakin ragu: kenapa perlu dibuktikan dengan cara itu?
Penyelidikan yang dilakukan oleh Bareskrim seolah ingin menutup bab.
Namun publik tahu, upaya penutupan bab sering kali justru membuka jilid baru. Klarifikasi dari pihak Universitas Gadjah Mada memang sudah didapat.
Tapi sejarah pencatatan akademik bukan hanya soal tanda tangan dekan dan tinta stempel.
Ia soal proses, transparansi, dan konsistensi narasi sejak awal.
Isu ijazah ini bukan semata soal dokumen akademik, tapi menyentuh esensi kepercayaan publik terhadap pemimpin nasional.
Dan di sinilah ironi itu muncul: semakin keras negara menyatakan sesuatu itu asli, semakin kuat pula keyakinan sebagian masyarakat bahwa ada yang sedang ditutupi.
Sebagian pihak mungkin akan menuding keraguan ini sebagai upaya menjatuhkan presiden.
Tapi kita lupa, kredibilitas tidak dibangun dengan klarifikasi belakangan, apalagi dengan gaya investigasi yang mengedepankan pamer “kemiripan” fisik dokumen, alih-alih transparansi riwayat akademik sejak masa kampus hingga detik seseorang dilantik menjadi presiden.
Saya pernah menulis bahwa “kebenaran tidak lahir dari keheningan, tetapi dari keberanian membuka fakta.”
Maka jika hari ini Bareskrim menyatakan ijazah itu asli, mungkin memang benar ijazah itu “ada”.
Tapi barangkali, arti lainnya: memang, selama ini ijazah aslinya tidak pernah benar-benar diperlihatkan.
Dan yang absen bukan kertas itu sendiri, tapi rasa percaya yang sudah telanjur kumal. ***
Artikel Terkait
Roy Suryo Buka Suara Soal Ziarah ke Makam Orang Tua Jokowi, Alasannya Bikin Heboh!
Geng Solo Masih Berkeliaran? Ini Tantangan Terberat Prabowo di Tahun Pertama!
Prabowo Disebut Tak Semanis Jokowi, Benarkah Popularitasnya Lebih Tulus?
DPR Sindir Babe Haikal: Ancam Legalkan Produk Non-Halal, Kebijakan Ngawur atau Langkah Berani?