Cerita Cak Nun Soal Soeharto Lengser: Di Balik 21 Mei 1998 Yang Tak Semua Orang Tahu

- Sabtu, 17 Mei 2025 | 13:35 WIB
Cerita Cak Nun Soal Soeharto Lengser: Di Balik 21 Mei 1998 Yang Tak Semua Orang Tahu

Ia sadar, tapi sulit menerima bahwa kekuasaan yang ia bangun selama tiga dekade bisa runtuh hanya dalam hitungan hari. 


Dalam berbagai refleksinya, Cak Nun menggambarkan Soeharto sebagai pribadi yang keras kepala, tetapi tetap punya sisi manusiawi yang menyesali keadaan.


Di Balik Kamera: Tangisan dan Keheningan


Dalam salah satu pengakuannya, Cak Nun menyebut bahwa detik-detik Soeharto menyampaikan pidato pengunduran diri pada 21 Mei 1998 adalah momen yang sangat emosional. 


Meski tampak tenang di layar televisi, di balik layar ada air mata, keheningan, dan rasa kehilangan. 


Bukan hanya dari Soeharto, tapi juga dari para pejabat yang menyadari bahwa era Orde Baru telah benar-benar berakhir.


Pelajaran dari Cak Nun: Reformasi Bukan Akhir, Tapi Awal


Meski ikut menyaksikan proses kejatuhan Soeharto dari dekat, Cak Nun tidak pernah melihat Reformasi sebagai kemenangan semata. 


Bagi dia, Reformasi adalah awal dari tanggung jawab baru: menjaga demokrasi, mengawasi kekuasaan, dan membangun peradaban.


Ia sering mengingatkan bahwa lengsernya Soeharto hanyalah kulit dari masalah besar yang lebih dalam, yakni kebobrokan sistem, krisis moral, dan lemahnya kesadaran kolektif. 


Oleh karena itu, sejak 1998 hingga kini, Cak Nun konsisten berada di tengah masyarakat melalui forum-forum Maiyah, menyuarakan pemikiran kritis, spiritualitas, dan pentingnya membangun bangsa dengan hati.


Dari Istana ke Rakyat, Sebuah Catatan Nurani


Cerita Cak Nun tentang proses lengsernya Soeharto bukan sekadar catatan sejarah alternatif. 


Ia adalah refleksi nurani bangsa: bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat tak akan pernah abadi. 


Bahwa perubahan tak cukup hanya dengan mengganti pemimpin, tetapi harus disertai dengan transformasi moral dan budaya.


Kini, 27 tahun setelah peristiwa itu, suara Cak Nun masih relevan: demokrasi bukan tujuan akhir, tetapi alat untuk menghadirkan keadilan dan kemanusiaan. 


Dan itu semua, baru bisa terjadi jika kita terus belajar dari sejarah — termasuk dari kisah Soeharto, dan dari nurani-nurani seperti yang disuarakan Cak Nun.


Sumber: VIVA


Halaman:

Komentar