Warisan Beracun: Bagaimana Kebijakan Satu Anak Tiongkok Melahirkan Stigma Perempuan Sisa

- Rabu, 17 Desember 2025 | 02:06 WIB
Warisan Beracun: Bagaimana Kebijakan Satu Anak Tiongkok Melahirkan Stigma Perempuan Sisa

Kritik terhadap kebijakan pemerintah itu bukan sekadar omong kosong. Itu upaya nyata untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Kenapa? Karena kebijakan yang diskriminatif dan mengorbankan kelompok tertentu, dampaknya bisa berjangka panjang, turun-temurun. Seperti warisan beracun, keputusan politik hari ini akan membentuk sistem kehidupan masyarakat di masa depan.

Namun begitu, masih banyak yang belum sadar betapa dalamnya pengaruh keputusan politik itu. Bukan cuma untuk hidup mereka sendiri, tapi juga untuk anak cucu mereka nanti. Karena itu, penting untuk melihat contoh nyata. Ambil saja kasus kebijakan yang diskriminatif. Dampaknya bisa melahirkan sistem yang timpang dan jauh dari ideal.

Melalui pendekatan feminist audit, kita bisa mengukur seberapa jauh kebijakan politik memengaruhi hajat hidup orang banyak. Baik itu menyangkut tatanan sosial maupun stigma yang melekat. Sebagai bahan refleksi, mari kita lihat studi kasus di Tiongkok, terkait kebijakan yang kerap membebani perempuan. Ini bisa jadi pelajaran berharga agar kita lebih kritis menyikapi setiap keputusan penguasa.

Sejak era Deng Xiaoping tahun 1979, Tiongkok punya aturan ketat: kebijakan satu anak. Itu respons atas ledakan populasi di masa sebelumnya.

Fenomena ledakan itu sendiri buah dari pandangan Mao Zedong, yang yakin jumlah penduduk besar berarti kekuatan ekonomi besar. Nah, kebijakan satu anak di masa Deng ini sebenarnya lebih berupa anjuran. Punya anak kedua masih diperbolehkan dengan syarat tertentu, misal jika anak pertama perempuan atau punya disabilitas.

Memang, secara angka kebijakan ini sukses. Kelahiran bisa ditekan hingga 400 juta. Tapi jangan salah, meski disebut anjuran, pelanggarannya kena sanksi berat. Dari denda sampai aborsi paksa. Di sinilah masalah mulai muncul. Praktik aborsi berdasarkan jenis kelamin sex-selective abortion menjadi hal biasa.

Janin laki-laki lebih diprioritaskan. Akibatnya? Rasio gender jadi tak seimbang. Jumlah laki-laki melimpah, sementara perempuan berkurang. Gender gap ini menciptakan masalah sosial baru. Di desa-desa, banyak laki-laki kesulitan dapat pasangan.

Melihat kondisi itu, pemerintah di bawah Xi Jinping akhirnya bergerak. Tahun 2016, kebijakan dua anak diluncurkan. Tapi targetnya tak tercapai. Lalu, di 2021, muncul aturan tiga anak. Tanggapannya? Kontradiktif. Bagi banyak kalangan, kebijakan ini tetap saja diskriminatif terhadap perempuan.

Terutama bagi perempuan karier di perkotaan. Beban mereka bertambah. Biaya hidup yang sudah tinggi, ditambah tekanan untuk punya lebih banyak anak. Ini persoalan ekonomi keluarga yang nyata. Efek kumulatif dari semua kebijakan ini membuat populasi laki-laki Tiongkok tetap lebih banyak hingga kini. Dari situlah muncul istilah menyakitkan: sheng nu atau "perempuan sisa".

Sheng nu adalah sebutan untuk perempuan Tiongkok yang belum menikah di usia di atas 27 tahun. Istilah diskriminatif ini lahir dari kebijakan yang timpang. Jelas, keputusan politik yang diambil puluhan tahun silam punya konsekuensi panjang bagi perempuan.


Halaman:

Komentar