Wacana Vasektomi sebagai Syarat Penerima Bansos Versi “KDM”: Quo Vadis?

- Kamis, 08 Mei 2025 | 13:40 WIB
Wacana Vasektomi sebagai Syarat Penerima Bansos Versi “KDM”: Quo Vadis?

Wacana Vasektomi yang digaungkan oleh Dedi Mulyadi (Gubernur Jabar), sebagai syarat untuk penerimaan bantuan sosial ( bansos), adalah sebuah langkah yang cukup berani , kontroversi, namun sekaligus juga adalah keliru. Paling tidak karena dua hal. Pertama, dari dasar awal, bahwa apapun wujudnya, Vasektomi adalah bentuk upaya untuk memutus mata rantai kehahamilan. Ini sungguh nyata, melabrak cetak biru konstitusi sunatullah. Kedua, dijadikan syarat untuk menerima bantuan sosial ( bansos). Itu adalah bukti lain dari makna perendahan terhadap marwah dan martabat hak asasi dan hukum Islam. Sedemikian naifnya menyodorkan variable “masaliku al-‘Ilat”, berupa “syarat penerimaan bantuan sosial”. Seberapa besar sih nilai akumulasi materi yang disajikan dalam bantuan sosial tersebut?.


Kendati memang benar wacana tersebut ( vasektomi) terlontar dari fakta “Kasuistik”, atas dasar temuannya, bahwa ada kelurga miskin yang memiliki  12 anak. Namun demikian, tidak bisa digeneralisir untuk sebuah kebijakan kontroversi, bahwa syarat untuk mendapat bantuan sosial harus divasektomi.


KDM sendiri yang sekarang menjadi pejabat hebat “sugih harta”  ( konon) terlahir dari keluarga besar yang tidak punya ( baca : miskin). Dia adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Ayahnya hanya seorang pensiunan TNI golongan rendah. Dia mengakui, bahwa lauk pauk yang dianggap “mewah” hanya ikan asin, itupun hanya bisa bertahan sampai tanggal 5 saja. Selepas tanggal tersebut, dia berkata, “Garam dikasih bawang, terus disimpan di toples. Makanan ini yang dibagikan pada sembilan anak. Terkadang malam hari saya diajak cari belalang untuk teman nasi,” tuturnya dilansir dari Kompas.com.


KDM, kenapa ibu Anda tidak masuk KB, atau ayah divasektomi sekalian? Bisa, jadi kalau bukan terlahir dari keluarga miskin, mungkin KDM tidak seperti KDM hari ini. Jadi solusi mengatasi kemiskinan dengan cara esktrem ( vasektomi), sekali lagi adalah sebuah pilihan keliru.  Adalah Prof. Dr. Rahmat Syafi’i Ketua MUI Provinsi Jawa Barat, dengan tegas mengatakan, ” Tidak boleh bertentangan dengan syariat, pada intinya vasektomi itu haram dan itu sesuai Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012,”.


Namun, bagi sang fenomenal ( KDM), fatwa MUI bukan hal yang mesti ditakutkan, mungkin yang terpenting baginya adalah sebuah kesejahteraan sosial yang rasional. Ini sesuai dengan jargon  visi-misinya “Jabar Istimewa” : yakni memiliki keistimewaan dari segala aspek, yaitu Kesehatan, Pendidikan, Sosial-Budaya, Lingkungan, dan lapangan kerja. Termasuk Vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial ( bansos), adalah sebuah keistimewaan tersendiri bagi provinsi Jawa Barat (?).


Apapun wujudnya, yang pasti gagasan KDM di atas dalam konteks diskursus alam demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Dan lontaran  pendapat atau kritikan (dari pihak tidak setuju) pun juga adalah sebuah keniscayaan yang sama. Malah bisa jadi, adalah sebuah kemestian. Karena ia menjadi bagian integral dari prinsip “Amar Ma’ruf Wahul Munkar”.


Oleh: Dr. Sulaiman Jazuli MEI

Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Ketua Majelis Tabligh PDM Kota Bogor

______________________________________


Halaman:

Komentar