Kekhawatiran publik ini bukannya tanpa alasan. Kemampuan politik Teddy Indra Wijaya sendiri masih diselimuti tanda tanya. Pengalamannya dalam membaca dinamika elite, mengelola konflik kepentingan yang rumit, atau memahami kompleksitas sosial Indonesia belum benar-benar teruji di ruang publik. Tapi, justru di pundaknyalah peran strategis sebagai "telinga kekuasaan" itu diletakkan.
Ini bukan persoalan merendahkan individu tertentu. Ini lebih pada soal arsitektur kekuasaan. Negara sebesar Indonesia, dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa dan ribuan persoalan struktural yang saling bertaut, tidak seharusnya menyaring realitasnya hanya melalui satu orang. Siapapun dia.
Pertanyaannya sederhana, tapi mendasar: apakah Presiden Prabowo benar-benar mendengar suara rakyat Indonesia secara utuh, atau hanya mendengar versi realitas yang disampaikan Teddy? Dalam demokrasi, kecurigaan publik bukanlah ancaman. Itu adalah alarm peringatan. Dan saat ini, alarm itu berbunyi cukup keras untuk didengarkan, bukan untuk diabaikan begitu saja.
Artikel Terkait
Mengabaikan: Ketika Sikap Acuh Tak Acuh Menggerogoti Ikatan Sosial
Tahun Baru 2026, Prabowo Nyanyikan Tanah Airku Bersama Pengungsi Batang Toru
Prabowo Akhiri Tahun di Pengungsian, Kunjungan Aceh Ditunda Akibat Cuaca
Risma Bawa Solusi Ternak Mini untuk Korban Banjir Agam