Effendi Gazali: Kasus Ijazah Jokowi Baru Berakhir 2035?

- Rabu, 31 Desember 2025 | 12:25 WIB
Effendi Gazali: Kasus Ijazah Jokowi Baru Berakhir 2035?

Lelaki kelahiran Padang, 5 Desember 1966 ini dikenal luas sebagai penggagas acara parodi politik "Republik Mimpi". Dia adalah dosen komunikasi, baik di Pascasarjana Universitas Indonesia maupun Universitas Prof. Dr. Moestopo.

Riwayat pendidikannya mentereng: S1 dan S2 Ilmu Komunikasi UI, Master dari Cornell University AS, dan gelar Ph.D. dalam Komunikasi Politik dari Radboud University Belanda. Dia juga penyandang sederet penghargaan akademis internasional dan kerap muncul sebagai pembicara maupun narasumber di berbagai forum dan talk show ternama.

Pada 2019, Effendi dikukuhkan sebagai Guru Besar. Di dunia organisasi, ia pernah memimpin kesatuan aksi mahasiswa pascasarjana UI dan aktif di berbagai asosiasi komunikasi.

Di sisi lain, proses hukum kasus ini sendiri berjalan lambat. Bola panasnya kini ada di Polda Metro Jaya. Meski sudah menetapkan delapan tersangka dan menggelar perkara khusus, berkas belum juga dilimpahkan ke Kejaksaan.

Kelambatan ini disorot oleh Penasihat Ahli Kapolri, Irjen (Purn) Aryanto Sutadi. Menurutnya, kasus ini sudah terlalu lama dibiarkan mengular.

"Kalau ini pidana murni soal tuduhan pakai ijazah palsu, penyidikan dua bulan mestinya selesai. Saksi ahli lima orang cukup. Alat bukti digital ya 20 cukup," kata Aryanto dalam sebuah tayangan.

Tapi kenyataannya lain. Karena ada "orang yang mengendalikan" di belakangnya, penyidik sampai mengumpulkan 712 alat bukti, 100 saksi, dan 20 saksi ahli. Setelah empat bulan baru ada penetapan tersangka, itupun belum ditahan. Lalu tersangka minta diajukan saksi meringankan, minta gelar perkara terbuka, dan terakhir mengajukan uji forensik independen.

"Penyidik kok mengakomodir semua itu. Ukuran lama penyidikan jadi tergantung wilayah penyidik nanti," ujarnya.

Aryanto melihat, selain karena muatan politik, penyidik mungkin ingin menunjukkan profesionalisme yang benar-benar adil dan transparan. Akibatnya, ya molor. Sayangnya, penundaan ini justru memicu pembelahan di masyarakat yang saling berseteru.

"Saya tidak suka itu," katanya.

Secara pribadi, Aryanto mendesak agar berkas segera dilimpahkan. "Perkara harus sampai ke pengadilan. Biar rakyat tahu mana yang benar, mana yang salah. Baru nanti, apakah berakhir dengan maaf-maafan atau pemidanaan, kita lihat perkembangannya."

Begitulah. Di tengah ramainya panggung politik, kasus ini seperti bola liar yang masih terus menggelinding. Prediksi Effendi Gazali mungkin terdengar pesimistis, tapi bagi yang mengamati ritme hukum dan politik kita, siapa tahu ia justru sedang membaca peta dengan tepat.


Halaman:

Komentar