“Jadi, buat yang nekat melakukan premanisme, hukumnya haram di sini,” tegasnya lagi.
Di sisi lain, ia juga mengajak warga untuk berani bersuara. Kalau ada pemaksaan atau tindak kekerasan, segera laporkan. “Agar kita bisa tindaklanjuti. Sekaligus memberantas habis praktik premanisme ini,” terang Eri.
Soal kasus Nenek Elina, Eri membeberkan akar masalahnya. Rupanya, ini bermula dari sengketa status tanah dan bangunan yang belum putus di pengadilan. Nah, karena belum ada keputusan hukum, tindakan pembongkaran paksa jelas melanggar aturan.
“Kalau ada sengketa, penyelesainya ya lewat pengadilan. Bukan main bongkar sendiri,” katanya.
Perkara ini sekarang sudah ditangani serius oleh Polda Jawa Timur. Statusnya bahkan sudah naik dari penyelidikan menjadi penyidikan sejak 29 Oktober lalu. “Ini benar-benar jadi perhatian penuh di Polda,” ungkap Eri.
Harapannya jelas: penegakan hukum harus tegas. Bukan cuma buat efek jera, tapi juga menumbuhkan kembali kepercayaan publik. Pemkot berjanji akan terus dampingi dan dorong proses hukum berjalan cepat, agar situasi kota tetap kondusif.
“Saya harap Polda Jatim segera tetapkan keputusannya. Mana yang benar, mana yang salah, dan sanksinya seperti apa. Biar warga Surabaya merasa dilindungi hukum,” pungkas Eri menutup pembicaraan.
Artikel Terkait
Premanisme Tersandung: 348 Tersangka Diamankan Polda Metro Jaya Sepanjang 2025
Polda Metro Jaya Catat Penurunan Kasus, Struktur Penanganan Perempuan dan Anak Bakal Dirombak
Cuaca Ekstrem Hambat Pencarian Pendaki Muda yang Hilang di Gunung Slamet
Restorative Justice Tuntaskan Lebih dari 2.000 Perkara di Tahun 2025