Kebohongan Akut: Saat Kata-Kata dan Kenyataan Tak Lagi Bertemu

- Selasa, 30 Desember 2025 | 08:25 WIB
Kebohongan Akut: Saat Kata-Kata dan Kenyataan Tak Lagi Bertemu
MURIANETWORK.COM Ngopipagi itu nikmat. Saat merenung, yang ideal tentu hal-hal positif, bukan merenungkan kebohongan.

Pada awalnya, bohong selalu tampak kecil. Datang seperti bisikan: sedikit saja, demi keadaan, untuk keselamatan sementara. Manusia bahkan yang cerdas sekalipun kadang yakin bisa mengendalikannya. Padahal, kebohongan tak pernah mau dikendalikan. Ia justru ingin diwariskan.

"

Di bangsa yang cerdas, kebenaran bukan benda rapuh. Ia padat, berat, punya daya tarik gravitasi sendiri. Apa pun yang melenceng, lambat atau cepat, akan ditarik kembali. Seringkali dengan cara yang menyakitkan.

Ambil contoh seorang pemimpin, dihormati karena kepandaiannya merangkai kata. Suatu hari ia memilih untuk tidak jujur. Bukan untuk merugikan, katanya, tapi untuk “menenangkan keadaan”.

Angka disederhanakan. Risiko dikecilkan. Fakta dibungkus rapi agar terdengar aman. Rakyat pun percaya. Mereka selalu percaya, sampai kenyataan datang membawa bukti yang tak terbantahkan.

Saat krisis akhirnya pecah, yang runtuh bukan cuma kebijakan. Wajah sang pemimpin berubah jadi arsip usang. Setiap pidato diputar ulang, setiap pernyataan disandingkan dengan data mentah. Bukan amarah publik yang paling menyiksa, melainkan kalimat sunyi yang mengiang di benak banyak orang: “Kalau sekarang ia bohong, kapan lagi ia jujur?”

Sejak itu, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa hampa. Bukan karena ia tak bicara benar, tapi karena kebenaran yang datang terlambat sudah kehilangan daya selamatnya.

Di sisi lain, ada kisah seorang akademisi. Cerdas, produktif, dielu-elukan. Ia tidak mengarang data sepenuhnya, hanya “menggesernya” sedikit. Koreksi kecil, katanya. Biar teorinya rapi. Agar hasilnya konsisten. Dan reputasinya pun melesat.

Tahun berganti. Karyanya dikutip, dijadikan dasar kebijakan penting. Sampai suatu hari, seorang mahasiswa bukan siapa-siapa mengulang riset itu. Dan angka-angka pun bicara. Bukan dengan emosi, tapi dengan ketepatan yang dingin.

Yang runtuh bukan cuma satu jurnal. Seluruh bangunan keilmuannya ikut retak. Nama yang dulu dihormati, kini cuma jadi catatan kaki tentang kesalahan fatal. Ia tak dipenjara atau diteriaki. Tapi undangan berhenti datang. Di kalangan orang cerdas, dilupakan adalah hukuman yang paling sunyi dan menusuk.

Ada juga kebohongan yang lebih personal, tapi tak kalah mematikan. Seorang profesional muda memoles cerita hidupnya. Pengalaman dilebihkan, peran dibesarkan, kegagalan dihapus halus. Ia diterima, dipuji, dipercaya.


Halaman:

Komentar