Aroma kue nastar dan spekulaas memenuhi udara, lampu-lampu berkelap-kelip di mana-mana. Bagi kebanyakan orang, ini pertanda cuti panjang dan waktu untuk pulang. Tapi coba lihat lebih dekat. Di balik kemeriahan itu, ada sekelompok orang yang justru bersiap dengan jadwal yang makin padat. Dokter, perawat, bidan mereka semua tahu betul bahwa Natal dan Tahun Baru bukan soal pesta kembang api. Bagi mereka, ini masa siaga penuh. Panggilan tugas menggantikan undangan makan malam keluarga.
Bayangkan ruang gawat darurat pada detik-detik pergantian tahun. Suasana di sana sama sekali berbeda. Alih-alih sorak-sorai, yang terdengar mungkin hanya bunyi monitor dan langkah cepat sepatu di lantai. Seorang dokter mungkin sedang membalut luka korban kecelakaan, sementara ponselnya bergetar tak henti dengan ucapan "Selamat Tahun Baru" yang tak sempat dibalas.
Di bangsal, seorang perawat dengan cermat memantau grafik di layar. Setiap detak jantung pasiennya lebih penting dari hitungan mundur di televisi. Mereka memastikan kehidupan tetap berjalan, melampaui tanggal di kalender.
Ini pengorbanan yang terjadi berulang setiap tahun. Sebuah dedikasi yang sering kita anggap biasa, seolah memang sudah jadi bagian dari job description mereka. Padahal, tak ada yang biasa tentang melewatkan momen berharga dengan keluarga demi menjaga orang asing.
Diikat Janji dan Aturan
Lalu, mengapa mereka tetap melakukannya? Ini bukan sekadar pilihan. Di satu sisi, ada panggilan moral yang dalam. Di sisi lain, negara punya aturan yang mengikat. Undang-Undang Kesehatan menjamin hak warga untuk mendapat pelayanan, kapan saja. Logikanya simpel: penyakit dan kecelakaan tidak peduli hari libur.
Belum lagi Kode Etik Kedokteran. Pasal 14-nya jelas mewajibkan dokter bertindak untuk kepentingan pasien, terutama dalam keadaan darurat. Nah, periode Nataru dengan mobilitas tinggi dan risiko kecelakaan yang melonjak, nyaris otomatis menciptakan situasi darurat massal. Jadi, di mata hukum dan etika, mereka memang harus berada di sana.
Lelah yang Tak Terlihat
Tapi pengorbanan mereka jauh lebih dari sekadar soal fisik. Ada harga mahal yang dibayar secara diam-diam: kesehatan mental mereka sendiri.
Artikel Terkait
TMII Tahun Baru Tanpa Kembang Api, Razia Ketat Menyambut Pengunjung
Kolaborasi Seni di Kambang Iwak Kumpulkan Dana Rp 6 Juta untuk Korban Bencana
Dibalik Dua Akun: Gen Z dan Pertunjukan Kepribadian di Media Sosial
Gubernur Mirza Ungkap Strategi Lampung: Fondasi Dibangun, Komoditas Tak Lagi Mentah