Dalam hubungan yang timpang, istilah "berlebihan" jarang muncul saat cinta perempuan itu menguntungkan. Ia baru keluar saat cinta itu mulai meminta ruang, kejelasan, dan keseriusan. Intinya, "berlebihan" bukan soal seberapa besar cintanya, tapi lebih tentang siapa yang merasa terganggu. Begitu perempuan berhenti menyesuaikan diri, label itu langsung dipakai sebagai alat kontrol.
Dampaknya? Besar. Banyak perempuan tumbuh dengan kebiasaan meragukan emosinya sendiri. Mereka meminta maaf untuk perasaan yang seharusnya sah. Menahan tangis, mengecilkan kebutuhan, membungkam luka semua agar tidak dicap terlalu sensitif. Lama-kelamaan, hubungan seperti ini bukan cuma melukai, tapi mengikis harga diri perlahan-lahan.
Cinta pun akhirnya dipahami secara keliru. Bukan sebagai ruang aman untuk tumbuh bersama, melainkan arena kompromi sepihak. Perempuan diminta mencintai dengan sepenuh hati, tapi tidak boleh menuntut balasan. Ketika segalanya jadi sepihak seperti ini, yang sebenarnya berlebihan bukanlah perasaannya, melainkan ketimpangan itu sendiri.
Padahal, intensitas emosi bukan lawan kedewasaan. Hubungan yang dewasa bukan yang sunyi dari perasaan, tapi yang mampu menampung emosi tanpa langsung menghakimi. Cinta yang sehat tidak memaksa seseorang terus menyesuaikan diri. Ia justru memberi ruang agar kedua pihak bisa hadir seutuhnya.
Sudah waktunya cara pandang ini diubah. Kita harus berhenti menilai cinta dari seberapa pandai seseorang menahan diri. Mulailah menilainya dari seberapa adil hubungan itu memperlakukan emosi. Perempuan tidak mencintai secara berlebihan. Mereka selama ini justru dipaksa mencintai dalam batas-batas yang ditentukan orang lain.
Menyebut cara perempuan mencintai sebagai 'berlebihan', tanpa mau paham konteksnya, cuma akan melanggengkan ketimpangan emosional. Yang perlu dikoreksi bukan kedalaman cinta mereka, melainkan standar hubungan yang selalu memihak pada kenyamanan sepihak. Sejatinya, cinta tidak pernah berlebihan. Yang sering kali berlebihan justru tuntutan agar perempuan terus mengecilkan dirinya, hanya agar dianggap 'wajar'.
Artikel Terkait
Ledakan di Masjid Homs Guncang Ibadah Jumat, 8 Jemaah Tewas
Misteri 22 Luka Tusukan di Rumah Mewah Politisi Cilegon
Program Makan Bergizi Libur Sekolah Dikritik: Dapur Harus Tetap Ngebul?
Srimulat Bangkit di Surabaya, Tessi-Kadir Siap Guncang Balai Budaya