Arsul Sani, yang tak mendapat banyak dari negara ini dibanding Jokowi, dengan enteng membuka ijazahnya untuk publik. Dia pun tak melaporkan balik orang yang melaporkannya. Pertanyaannya, Jokowi yang sudah mendapatkan segalanya bahkan anak dan menantunya ikut menikmati kenapa masih ingin memenjarakan warga negara untuk soal yang sama?
Jadi, seharusnya bukan Jokowi yang memberi maaf. Justru dialah yang semestinya meminta maaf. Sudah terlampau emosional melaporkan mereka dengan pasal seberat itu, hanya demi sebuah ijazah yang seolah jadi hantu di masa lalu. Ijazah yang, kalau memang asli, sebenarnya sudah kadaluwarsa urusannya.
Faktanya, tak ada seorang pun bisa menyebut ijazah itu palsu kalau memang asli. Penelitian secanggih apa pun takkan bisa memutarbalikkan fakta itu. Kecurigaan publik terhadap ijazah Jokowi justru muncul dari hal-hal yang berasal dari dirinya sendiri. Soal Pak Kasmudjo, IPK, atau foto yang berbeda itu, misalnya. Itu semua memantik tanda tanya.
Karena itu, ide pemaafan ini terasa terlambat. Sudah terlalu jauh jalan yang ditempuh. Kecuali, tentu saja, jika pemaafan itu dibarengi dengan pencabutan laporan dan kesediaan membuka ijazah tersebut secara sukarela untuk diuji siapa pun. Percayalah, yang asli akan tetap asli. RRT takkan bisa mengubahnya.
Namun begitu, karena datangnya telat, wajar jika orang curiga. Jangan-jangan ini cuma strategi untuk mengalihkan perhatian dari kebenaran seputar ijazah itu. Coba bayangkan: kalau asli saja sulit dipercaya, apalagi kalau ternyata palsu? Semua ini adalah buah dari permainan politik yang justru dimulai dari dalam. Tapi anehnya, Jokowi malah menuduh pihak lain yang memainkannya. Lalu, siapa yang harus kita percaya?
Penulis: Erizal
Artikel Terkait
Libur Panjang, Dago Bandung Tersendat Macet Parah hingga Punclut
Antrean Panjang di Planetarium Jakarta, Pengelola Siasati dengan Kuota Sisa
Kemenhan dan Selfie Kontroversial: Ketika Lorong Kekuasaan Jadi Panggung Sandiwara
Menteri Tito Dorong Unsri Tinggalkan Pola Biasa, Fokus pada Lompatan Inovatif