Langit di atas Sumatra seakan robek. Hujan yang turun bukan lagi hujan biasa, melainkan amukan siklon tropis yang langka, memuntahkan air dalam volume yang tak terkira. Tapi, sebenarnya, bencana ini sudah lama dipersiapkan di tanah. Air dari langit itu hanya pemicu akhir.
Lihatlah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Sepanjang 2015 hingga 2024, hutan-hutan yang dulu berfungsi sebagai spons raksasa perlahan-lahan sirna. Penyebabnya beragam. Ada kebakaran, perladangan, perluasan pemukiman. Namun, yang paling signifikan adalah ekspansi perkebunan skala besar, seperti sawit dan kakao, yang menggerogoti daerah aliran sungai. Ketika hujan ekstrem datang, tak ada lagi yang menahan. Air langsung meluncur deras, menggerus tanah, membawa gelondongan kayu, dan berubah menjadi banjir bandang yang menghancurkan apa saja di depannya.
Angka-angka yang muncul kemudian sungguh memilukan. Lebih dari seribu nyawa melayang. Rumah yang rusak mencapai 186.488 unit, dengan mayoritas rusak berat. Bencana ini melanda 52 kabupaten dan kota, merusak ribuan fasilitas umum. Peta ini dengan jelas menunjukkan luka yang dalam, sekaligus mengingatkan fakta pahit: Indonesia adalah negara ketiga paling rawan bencana di dunia.
Namun begitu, tanggapan kita terhadap risiko ini, ternyata, jauh dari memadai.
Ambil contoh anggaran. Dari pusat, dana untuk penanggulangan risiko bencana alam hanya sekitar Rp3,1 triliun per tahun. Coba bandingkan dengan kerugian tahunan akibat bencana yang mencapai Rp22,8 triliun. Selisihnya nyaris tujuh kali lipat! Di level daerah, situasinya lebih memprihatinkan. Dana untuk hal tak terduga, termasuk bencana, nyaris tak dianggarkan. Ambil contoh Aceh Tamiang, salah satu wilayah yang terpukul. Mereka cuma menyisihkan 0,24 persen dari total belanja daerah untuk pos Belanja Tidak Terduga di 2025. Sungguh ironis.
Inilah paradoks yang mematikan. Kita hidup di cincin api, dihantui ancaman hidrometeorologi, tapi seolah membiarkan diri terbuka tanpa perlindungan yang berarti.
Lalu, apa yang mesti dilakukan sekarang, ketika bencana sudah terjadi dan ancaman pengulangan selalu menghantui?
Institute for Economic and Social Research (LPEM) FEB UI baru-baru ini melontarkan tujuh rekomendasi. Tiga langkah bersifat mendesak, sisanya empat langkah sistemik. Ini bukan sekadar respons krisis, tapi lebih seperti cetak biru untuk membangun ketahanan jangka panjang.
Pertama, bentuk Task Force Penanganan Bencana Sumatra sekarang juga. Koordinasi yang selama ini tumpang-tindih dan lambat harus disatukan di bawah satu komando yang kuat. Libatkan kementerian, BNPB, pemda, dan para ahli. Bencana seluas ini butuh kepemimpinan yang jelas, titik.
Artikel Terkait
Jokowi dan Ijazah yang Tak Kunjung Usai: Pemaafan atau Pengalihan?
Nasib Ratusan Jemaah Umrah Terkatung di Bandara Jeddah Akibat Gangguan Teknis Pesawat
Jakarta Bernapas Lega: Kemacetan Sirna di Momen Natal 2025
Federalisme: Solusi atau Ilusi untuk Labirin Kekuasaan Indonesia?