Mengapa Para Sarjana Barat Memuji Nabi Muhammad?

- Kamis, 25 Desember 2025 | 09:50 WIB
Mengapa Para Sarjana Barat Memuji Nabi Muhammad?

Lebih keras lagi, Humphrey Prideaux di abad ke-17 secara terang-terangan menyebut Nabi sebagai "impostor" atau penipu dalam tulisannya. Voltaire, sang filsuf Prancis, juga menggunakan sosok Muhammad sebagai simbol fanatisme dalam dramanya, meski itu lebih merupakan alat dramatik ketimbang analisis historis yang objektif.

Lalu, bagaimana dengan pandangan umat Islam sendiri? Tentu, penilaian dari luar entah itu memuji atau mencela tidak lantas menggeser perspektif mereka. Bagi muslim, rujukan utama dalam memandang Nabinya tetap berasal dari khazanah keilmuan Islam yang kaya.

Para ulama melihat Rasulullah bukan sekadar pembawa wahyu. Beliau adalah pemimpin yang mentransformasi peradaban, mengubah tradisi jahiliah menjadi masyarakat yang berilmu, dan membentuk akhlak mulia dari keburukan yang membelenggu.

Imam Al-Ghazali, misalnya, menulis bahwa akhlak Nabi adalah "akhlak yang mencapai puncak kesempurnaan insani, hingga menjadi timbangan bagi akhlak manusia."

Pujian yang puitis datang dari Imam Al-Bushiri dalam Qasidah Burdah. Ia menggambarkan Muhammad bagai matahari, sementara nabi-nabi lain laksana bintang yang memantulkan cahayanya.

Di tanah air, para tokoh juga punya cara pandangnya masing-masing. Buya Hamka melihat Nabi sebagai revolusioner moral dan pembebas sejati. "Nabi Muhammad adalah akhlak," tulisnya. "Barangsiapa mencintai beliau, hendaklah ia menghiasi hidupnya dengan akhlak itu."

Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, menekankan sisi aksi. Meniru Nabi, baginya, harus dengan amal dan kerja nyata, bukan sekadar diam.

Sementara KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, lebih menitikberatkan pada Nabi sebagai guru ilmu dan akhlak. "Mengikuti jejak Nabi adalah adab," tegasnya. "Adab mendahului ilmu, sebagaimana Muhammad mendahului umatnya dalam kemuliaan."

Mohammad Natsir, negarawan dan intelektual muslim, memberikan perspektif politik yang etis. Baginya, Nabi Muhammad adalah contoh bagaimana memimpin sebuah negara dengan landasan moral yang kuat. "Pada Muhammad, agama bukan alat kekuasaan, kekuasaan tunduk pada agama," ujarnya. "Negara tanpa akhlak Muhammad adalah bangunan tanpa fondasi."

Begitulah. Dari berbagai sudut pandang, sosok itu terus mengundang pembahasan. Sebuah bukti bahwa pengaruhnya memang tak terbantahkan, melampaui sekat-sekat yang sering kita buat.

Nuim Hidayat
Direktur Forum Studi Sosial Politik.


Halaman:

Komentar