Muzakir Manaf: Sosok yang Membuat Sistem Gerah

- Rabu, 24 Desember 2025 | 10:00 WIB
Muzakir Manaf: Sosok yang Membuat Sistem Gerah

Ini semua terdengar sadis karena kebenarannya memang menyakitkan. Di negeri ini, orang seperti Mualem bukanlah teladan sistem, melainkan anomali yang membuat sistem gerah. Dia mengingatkan kita bahwa pejabat bisa vokal tanpa menjadi pengkhianat, bahwa melawan pusat bukan makar, dan keberanian bukan dosa administratif. Dia bukan malaikat. Sistemnya pun penuh noda. Tapi di antara pejabat yang hidup dari posisi aman, dia hidup dari tanggung jawab yang kotor dan berat. Itu yang membuatnya berbahaya bukan untuk rakyat, tapi untuk sistem yang dibangun dari kepengecutan massal.

Makanya, wajar jika banyak orang pusat tidak pernah benar-benar suka padanya. Muzakir Manaf bukan tipe yang bisa ‘diatur halus’. Rayu dengan jabatan? Dia sudah memegang kekuasaan jauh sebelum negara mengakuinya. Tekan dengan ancaman politik? Hidupnya puluhan tahun di bawah ancaman senjata. Takut kehilangan kursi? Baginya, kursi cuma alat, bukan sumber identitas. Di politik Indonesia, orang yang identitasnya tidak tergantung kursi selalu dianggap masalah.

Dia juga tidak pernah menjadi ‘anak baik’ di mata elite nasional. Lihat saja polanya. Banyak kepala daerah rajin nongol di Jakarta untuk foto dengan menteri, lalu menguploadnya dengan caption ‘koordinasi’. Mualem jarang begitu. Kalau ke Jakarta, biasanya untuk memperjuangkan angka, kewenangan, hak Aceh. Itu yang membuatnya dicap ‘keras kepala’. Padahal, maknanya sederhana: dia tidak mau Aceh diperlakukan seperti anak kecil yang harus menerima apa saja. Di negara yang terbiasa dengan kepala daerah yang manut, orang seperti ini jelas mengganggu ritme kekuasaan.

Perlu dicatat, ada bedanya ‘berani’ dan ‘nekat’ dan dia paham betul itu. Banyak yang vokal di media, tapi saat ditekan langsung bungkam. Mualem berbeda. Dia tidak berisik setiap waktu, tapi ketika bicara, itu di titik yang strategis. Hidup di medan perang mengajarkan satu hal: salah timing berarti mati. Itu sebabnya dia bisa bertahan lama. Bukan karena licik, tapi karena tidak gegabah.

Di kalangan elite Aceh sendiri, dia tidak selalu disukai, tapi lebih sering ditakuti. Banyak yang kesal karena dia susah ditekan, tidak gampang disuapi, dan tidak mengikuti mekanisme ‘elite salonan’. Namun, mereka tetap menjaga jarak karena satu hal: Mualem punya legitimasi akar rumput yang nyata. Bukan dari survei atau baliho, tapi dari sejarah. Legitimasi macam ini tidak bisa dibeli atau dipalsukan.

Bagi aktivis idealis di Jakarta, Mualem mungkin dianggap feodal atau militaristik. Label-label itu mungkin benar di atas kertas. Tapi coba tanya: di Aceh pasca-konflik, siapa yang benar-benar bisa menjaga stabilitas? Demokrasi prosedural itu indah, tapi di wilayah bekas perang, yang dibutuhkan pertama-tama adalah rasa aman, bukan seminar. Mualem paham betul: kalau keamanan runtuh, demokrasi hanyalah omong kosong. Makanya dia memilih sistem yang kasar tapi berfungsi, ketimbang sistem cantik yang hanya hidup di laporan.

Soal moral, dia punya standarnya sendiri yang konsisten. Mualem bukan relativis. Hutan rusak, itu salah titik. Rakyat terlantar, itu dosa pemimpin. Standarnya bukan hukum administrasi, tapi hukum kehormatan. Orang yang hidup dengan hukum kehormatan biasanya tidak fleksibel, tapi bisa ditebak. Kamu tahu batasnya di mana, tahu dia akan marah pada titik apa. Bandingkan dengan pejabat yang terlihat fleksibel, tapi sebenarnya tidak punya prinsip sama sekali.

Dia mengerti satu hal yang sering dilupakan negara: damai bukan cuma berarti tidak ada tembakan. Damai adalah perut kenyang, harga diri yang utuh, dan rasa dihargai. Itu sebabnya dia keras soal kesehatan, santunan korban, dan penghormatan pada sejarah. Menghapus memori konflik bukan cara untuk menyembuhkan luka.

Banyak orang takut jika tipe kepemimpinan seperti dia menjadi preseden. Bayangkan jika kepala daerah lain meniru: berani ribut, berani menolak, berani menuntut. Itu berbahaya bagi sistem yang hidup dari ketertiban semu. Lebih enak punya kepala daerah yang manut, nurut, dan bisa disalahkan atas segala kebijakan pusat. Mualem tidak bisa dijadikan tameng. Kalau salah, dia hadapi sendiri. Sistem membenci orang yang tidak mau dijadikan perisai.

Jujur saja, Mualem bukan simbol masa depan Indonesia. Gaya kepemimpinannya terlalu kasar, terlalu emosional, dan terlalu sarat beban sejarah. Tapi dia sangat relevan sebagai penjaga masa transisi. Selama luka konflik belum sembuh, selama janji negara belum lunas, tipe pemimpin seperti ini masih dibutuhkan. Bukan untuk disalin mentah-mentah, tapi untuk menjaga agar negara tidak lupa pada utangnya.

Dan inilah mengapa dia terlihat ‘berbahaya’. Bukan karena ingin memecah belah, tapi karena dia mengingatkan bahwa kekuasaan seharusnya punya nyali. Di sistem yang semakin dipenuhi oleh orang-orang penakut, satu sosok yang berani sudah cukup untuk membuat gaduh. Mungkin itu alasan mengapa sampai hari ini, Muzakir Manaf masih berdiri sementara banyak pejabat lain hanya lewat, lalu hilang tanpa bekas.


Halaman:

Komentar