Di sisi lain, ia mengingatkan soal bahayanya jika negara terlalu kaku masuk ke ranah keagamaan. Bisa berbahaya bagi demokrasi dan pemerintahan itu sendiri.
"Kalau negara terlalu masuk secara rigid kepada urusan keagamaan orang, itu artinya tidak terjadi independensi dalam dunia keagamaan," papar Nasaruddin.
"Dan itu sangat berbahaya untuk pemerintah juga."
Campur tangan yang berlebihan, lanjutnya, berisiko membuat agama kehilangan peran kritisnya. Padahal, potensi kritis itu penting. Fungsinya untuk menciptakan keseimbangan, sebuah balancing, dalam kehidupan beragama.
Meski begitu, bukan berarti negara sama sekali tak punya peran. Ada batasannya. Terutama jika sudah menyentuh aspek hukum pidana.
"Jadi ada hak-hak negara untuk mengatur agama kalau sudah misalnya ada konflik yang menjurus kepada pidana," jelasnya.
"Tapi juga ada haknya keagamaan itu mengoreksi pemerintahan kalau itu menyimpang daripada misalnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45."
Kuncinya, menurut dia, adalah menjaga jarak sosial yang seimbang. Antara pimpinan agama dan pimpinan negara harus ada batas yang jelas. Tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing.
"Jangan tokoh agama terlalu masuk ke wilayah birokrasi pemerintahan, tapi juga sebaliknya jangan negara terlalu masuk mengurusi urusan kepercayaan umatnya," pesan Nasaruddin.
Prinsip keseimbangan sosial, atau social balancing itulah yang disebutnya sedang dijalankan Kementerian Agama. Sebuah pembagian tugas yang ia nilai bagus untuk dijaga bersama.
Artikel Terkait
Zona Putih Jakarta: 15 Titik Strategis Dilarang Pasang Atribut Partai
Sudan: Bencana yang Terlupakan di Tengah Hiruk-Pikuk Dunia
Tiga Eks Petinggi BJB Diadili, Kerugian Negara Rp671 Miliar dari Kredit Sritex
Ketika Kata-Kata Tak Punya Tempat Pulang