28 Hari Berlalu, Lumpur Masih Mengurung Sisa Hidup Keluarga di Pidie Jaya

- Selasa, 23 Desember 2025 | 21:36 WIB
28 Hari Berlalu, Lumpur Masih Mengurung Sisa Hidup Keluarga di Pidie Jaya

Sudah hampir sebulan berlalu, tepatnya 28 hari, tapi lumpur masih memenuhi rumah Umma Ezra di Desa Meunasah Bie, Pidie Jaya. Sejak Rabu malam tanggal 25 November itu, kehidupan keluarga muda ini seperti terhenti. Sekarang, Umma dan suaminya berjuang mengais sisa-sisa kehidupan dari tumpukan tanah basah yang mengeraskan itu.

Dengan cangkul dan sekop, mereka menggali perlahan. Perabotan yang terselamatkan satu per satu dikeluarkan. Tangan Umma sudah tak lagi dikenali, penuh lapisan lumpur cokelat pekat. Pakaian, piring, lemari yang masih bisa diselamatkan, dibawanya ke sungai dekat rumah untuk dicuci. Sebuah rutinitas yang melelahkan.

Malam bencana itu masih jelas terbayang. Hujan lebat tak henti mengguyur. Menjelang tengah malam, air mulai merayap masuk ke dalam rumah. Mereka berdua masih sempat mengangkat barang-barang ke tempat yang lebih tinggi, meletakkannya di atas meja dan lemari. Saat itu, pikiran buruk belum terlintas.

“Kami pikir airnya tidak akan terlalu tinggi,” kenang Umma, Selasa (23/12) lalu.

Namun begitu, prediksi mereka meleset. Air terus naik, mencapai ketinggian lutut orang dewasa. Panik mulai menyergap. Umma, suaminya, dan anak mereka memutuskan keluar, bergegas mencari tempat yang aman. Musala sebuah pondok pesantren tak jauh dari rumah menjadi tujuan.

“Kami bergegas ke lantai dua musala pesantren dengan membawa satu tas berisi dokumen penting, baju masing-masing dua pasang, bantal untuk anak, dan selimut. Saat kami keluar, air di luar rumah sudah setinggi pinggang,” ucapnya.

Sesampainya di sana, situasi justru makin mencekam. Air naik dengan kecepatan yang menakutkan, deras bagai sungai yang meluap. Dari balik jendela musala, mereka hanya bisa pasrah.

“Kami hanya bisa melihat air, berdoa, dan berserah diri kepada Allah,” katanya, suara terdengar lirih saat mengingatnya.

Pukul dua pagi, banjir mencapai puncaknya. Ketinggian air lebih dari dua meter. Dari lantai dua, Umma menyaksikan rumahnya nyaris tak tampak, tenggelam sepenuhnya. Rasa waswas menyelimuti.

“Kami sangat waswas waktu itu. Apakah kami akan selamat, ataukah ini malam terakhir kami di dunia ini,” ujarnya.

Pemandangan pilu lainnya menyusul. Barang-barang dapur mereka hanyut terbawa arus deras melewati musala.


Halaman:

Komentar