Ruangan asrama di SRMP 10 Cibinong itu kini bukan sekadar tempat tidur bagi Dwi Aprilia. Di sanalah, pelajar berusia 13 tahun ini menemukan arti baru dari sekolah, bahkan kehidupan itu sendiri.
Dwi adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kehidupan keluarganya jauh dari kata mudah. Ayahnya mencari nafkah sebagai tukang cukur, kadang juga menjaga parkir. Dengan penghasilan sekitar satu setengah juta rupiah per bulan, mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah merupakan perjuangan.
“Kadang aku nggak minta jajan kalau ayah uangnya nggak ada. Nggak apa, secukupnya saja.”
Ucapannya lirih, tapi maknanya dalam. Sebuah kedewasaan yang terpaksa tumbuh lebih cepat, dari seorang anak yang seharusnya lebih banyak bermain ketimbang memikirkan urusan dompet.
Namun begitu, semuanya mulai berubah empat bulan lalu. Saat Dwi memutuskan pindah ke asrama Sekolah Rakyat. Hidupnya jadi lebih tertata. Dimulai dengan salat subuh berjemaah, lalu olahraga, bersih-bersih, kemudian pelajaran hingga sore. Malam harinya diisi dengan belajar atau sekadar mencuci baju bareng teman-teman.
“Dulu di rumah, bangunnya jam 6 pagi, sekolah sebentar terus pulang. Kalau di sini, kegiatannya banyak, dapat makan tiga kali, snack juga. Lumayanlah, meringankan beban orang tua,” ungkapnya.
Bagi Dwi, Sekolah Rakyat pelan-pelan berubah menjadi rumah kedua. Sebuah tempat yang memberinya ruang untuk mulai bermimpi lebih tinggi. Tanya saja soal cita-cita, matanya langsung berbinar.
“Aku mau jadi dokter. Jadi kalau orang tua aku sakit, bisa berobat sama aku.”
Artikel Terkait
Kominfo Tingkatkan Pengawasan Digital, Fokus pada Perlindungan Anak dan Tata Kelola Platform
Aktor Vampire Diaries Singkirkan Gelas Starbucks Saat Wawancara, Serukan Boikot untuk Gaza
Penutupan TPL Disambut, Tapi Warga Tuntut Hentikan Operasi untuk Selamanya
Dampak Hujan 2025, Ancaman Bencana Masih Mengintai hingga Awal 2026