Suara dua pejabat tinggi negara yang meminta media untuk 'mengurangi' kritik terhadap pemerintah langsung memantik reaksi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tak tinggal diam. Mereka menilai seruan itu bukan sekadar imbauan biasa, melainkan langkah yang berpotensi membungkam kebebasan pers dan mematikan fungsi pengawasan media. Terutama di saat negara sedang menghadapi krisis dan bencana.
Pemicunya adalah pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak. Ia meminta media agar tak lagi memberitakan kekurangan-kekurangan pemerintah. Gema serupa datang dari Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya. Dia mengimbau media untuk fokus pada hal-hal positif dan jangan sampai membentuk opini seolah pemerintah diam saja, tidak bekerja.
Alarm Bahaya bagi Demokrasi
Bagi AJI, pernyataan semacam ini adalah alarm. Ada aroma pengendalian narasi yang berbahaya bagi iklim demokrasi. Rasanya, ruang untuk mengkritik sedang diupayakan untuk ditutup-tutupi. Padahal, kritik yang berdasar fakta justru jantung dari akuntabilitas pemerintahan yang sehat.
Efeknya langsung terasa. Pembatasan kerja jurnalis, entah lewat kata-kata pejabat atau aksi di lapangan, pada akhirnya merampas hak publik untuk tahu. Bayangkan jika akses jurnalis dipersempit, data dikendalikan sepihak, dan narasi resmi jadi satu-satunya cerita. Masyarakat bisa kehilangan informasi krusial: seberapa parah kerusakan sebenarnya, mengapa bantuan telat sampai, atau di mana titik gagal mitigasi yang harus dievaluasi.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, menegaskan bahwa tekanan terhadap media ini bukan hal baru. Terutama saat pemerintah sedang jadi sorotan.
"Praktik intimidasi, penghalangan liputan, hingga pelabelan 'berita negatif' menunjukkan bahwa pengontrolan narasi masih dilakukan demi citra pemerintah. Padahal, di tengah krisis, kerja jurnalistik yang bebas dan akurat justru membantu negara dalam melawan disinformasi, mempercepat respons publik, dan memastikan bantuan tepat sasaran,"
ujar Nany dalam siaran persnya, Minggu, 21 Desember 2025.
Ia menambahkan, pernyataan KSAD dan Seskab itu berisiko memperkuat praktik swasensor di meja redaksi. Kecenderungan yang menurut AJI sudah makin terasa belakangan ini. Media bisa jadi takut, lalu menarik laporan kritis soal penanganan pascabencana. Akibatnya, gambaran utuh situasi di lapangan tak pernah sampai ke publik.
Artikel Terkait
Lampu Tempel dan Pembungkaman: Ketika Reset Indonesia Dihalangi di Pasar Desa
Mensos Salurkan Bantuan Rp 433 Juta untuk Disabilitas Korban Banjir Sibolga
Mimpi Pernikahan Nyaris Runtuh Diselamatkan oleh Kebaikan Orang Tak Dikenal
Sering Kecewa pada Teman? Mungkin Harapanmu yang Terlalu Tinggi