Bencana Alam dan Bantuan Asing untuk Kemanusiaan
Oleh: Nano Hendi Hartono
wartawan senior
Gempa, longsor, banjir. Rangkaian bencana yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat itu kembali menegaskan satu hal: betapa kecilnya kita di hadapan amukan alam. Ini bukan soal pilih kasih. Ini adalah dinamika bumi dan iklim yang terus bergerak, tak terhindarkan. Di daerah rawan, jutaan orang menjalani hari-harinya dengan harapan sekaligus kecemasan yang selalu mengintai.
Namun begitu, dari tengah-tengah duka dan puing-puing, selalu ada hal lain yang muncul. Sebuah fenomena yang kerap menyertai tragedi besar: solidaritas dari mancanegara. Saat rumah rubuh, tangis anak-anak pecah, dan keluarga kehilangan segalanya, pesan-pesan dukungan pun berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Rasanya, hati manusia memang terpanggil oleh penderitaan yang universal melampaui batas negara dan politik.
Tapi, bagaimana respons kita? Khususnya sikap pemerintahan Prabowo saat ini terhadap tawaran bantuan asing pascabencana. Patut kita cermati. Ketegasan menolak dengan dalih “Indonesia sudah mampu” bukan cuma pernyataan administratif biasa. Di dalamnya terselip nilai politik, moral, dan tentu saja, pertimbangan kemanusiaan yang lebih luas.
Nasionalisme, atau Nyawa Manusia?
Setiap negara punya hak penuh menentukan sikapnya dalam kerja sama internasional. Kedaulatan adalah harga mati. Tapi ketika nasionalisme dijadikan alasan utama untuk menolak bantuan, kita harus berhenti sejenak dan bertanya. Mana yang lebih utama: gengsi kebangsaan atau menyelamatkan nyawa sesama?
Logikanya sederhana. Bantuan asing untuk bencana adalah murni bantuan kemanusiaan. Bukan bentuk penjajahan baru. Tak ada negara donor yang datang untuk mengeksploitasi Indonesia dari reruntuhan. Mereka tergerak oleh kemanusiaan, oleh penderitaan nyata yang dilihatnya.
Kalau bangsa lain sanggup memberi dan kita menolak hanya karena soal kedaulatan, maka perlu dijelaskan pada publik. Bahwa kedaulatan itu bukan cuma tentang kekuatan militer dan ekonomi. Lebih dasar dari itu, kedaulatan berarti kemampuan melindungi warga dari ancaman kematian dan kepedihan yang tak perlu.
Benarkah Kita “Sudah Mampu”?
Pemerintah bilang Indonesia punya kapasitas. Institusi seperti BNPB disebut sudah mumpuni. Memang benar, pengalaman bertahun-tahun hadapi gempa, tsunami, hingga banjir telah meningkatkan kemampuan respons kita. Tapi, kemampuan tidak sama dengan kecukupan sumber daya.
Lihat saja tsunami Aceh 2004. Saat gelombang menghantam, seluruh sumber daya nasional nyaris lumpuh. Pemerintah SBY kala itu tak ragu menerima bantuan dari berbagai negara. Hasilnya? Ratusan ribu nyawa terselamatkan. Infrastruktur pulih lebih cepat. Proses rehabilitasi tak terlalu membebani anggaran negara.
Mengklaim “mampu” lalu menutup pintu bantuan internasional sama saja dengan berasumsi kesiapan kita sudah sempurna. Padahal bencana alam sifatnya tak terduga dan cepat berubah. Gempa susulan, wabah penyakit, trauma psikologis semuanya butuh respons masif dan cepat sekali.
Artikel Terkait
Pendukung Prabowo, Jangan Jadi Penjilat Gratisan
Kasasi Ditolak, Vonis 14 Tahun Penjara untuk Pengacara Lisa Rachmat Berkekuatan Tetap
Dua Bank Suntik Bantuan Tenda, UMKM Sungai Raya Dalam Makin Bergairah
Rocky Gerung Ramalkan 2026: Baku Tembak Elit dan Piring Kosong Rakyat