Jejak Etika: Ketika Kekuasaan Dijalani dengan Santun dan Bijak

- Minggu, 21 Desember 2025 | 06:00 WIB
Jejak Etika: Ketika Kekuasaan Dijalani dengan Santun dan Bijak

Hidup santun dan bijak juga terlihat dari kesederhanaan. Di tengah masyarakat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok, gaya hidup pejabat adalah pesan moral yang kuat. Kesederhanaan bukan berarti hidup serba kekurangan. Ini lebih pada kesadaran untuk tidak memamerkan kemewahan yang bisa mencederai rasa keadilan. Pejabat yang bijak tahu, teladan itu bersuara lebih lantang daripada seribu pidato.

Lalu, dalam relasi dengan masyarakat, keadilan adalah prinsip yang tak bisa ditawar-tawar. Pejabat yang santun dan bijak tak pilih-pilih dalam melayani. Aturan ditegakkan tanpa pandang bulu, sekalipun itu harus merugikan kawan terdekat. Di sinilah integritas diuji paling keras. Dan di sinilah pula kehormatan sejati dibangun, batu demi batu.

Era digital kini menambah dimensi ujiannya. Media sosial membuat setiap ucapan bisa menyebar luas, setiap kelalaian berpotensi berlipat ganda dampaknya. Pejabat yang santun akan menjaga ucapannya dengan ekstra hati-hati. Ia sadar, dia bicara bukan cuma sebagai dirinya sendiri, tapi juga sebagai simbol institusi. Menahan diri dari provokasi, menolak sensasi, memilih bijak di tengah hiruk-pikuk opini itulah yang membedakan.

Pada akhirnya, hidup sebagai pejabat yang santun dan bijak adalah pilihan moral yang harus terus diulang. Bukan dari satu keputusan besar, tapi dari akumulasi pilihan-pilihan kecil sehari-hari. Pilihan untuk jujur saat ada celah curang. Pilihan untuk mendengar ketika lebih mudah memerintah. Pilihan untuk tetap melayani, saat kuasa menawarkan kenyamanan.

Jabatan pasti akan berakhir. Tapi jejak etika kita akan tetap tinggal. Pejabat yang santun dan bijak mungkin tak selalu dapat sorotan. Tapi warisan yang ditinggalkannya jauh lebih berharga: kepercayaan, keteladanan, dan secercah harapan bahwa kekuasaan masih bisa dijalani dengan nurani. Di sanalah, martabat kekuasaan menemukan maknanya yang paling luhur.

(amKartadipura)


Halaman:

Komentar