Mencari Jalan Sunyi: Santun dan Bijak
Jabatan. Banyak yang mengira itu puncak kehormatan, padahal sebenarnya justru titik awal sebuah pengabdian yang jauh lebih berat. Di situlah kekuasaan dan tanggung jawab bertemu, sekaligus menjadi ujian sejati bagi watak seseorang. Menjadi pejabat bukan cuma soal kewenangan yang kita pegang, tapi lebih tentang cara kita menjalaninya. Dengan santun dan bijak, agar kuasa tak berubah jadi kesombongan, dan keputusan tak menjelma jadi kezaliman.
Kesantunan adalah hal pertama yang dilihat publik. Ia terpancar dari tutur kata, bahasa tubuh, hingga cara kita memperlakukan orang lain. Di tengah dunia yang riuh oleh klaim dan kepentingan, sikap santun justru jadi penanda kedewasaan moral. Seorang pejabat yang santun paham betul: setiap kata punya bobot, setiap sikap meninggalkan jejak. Reaksi kita akan lebih dikenang daripada niat di baliknya. Dengan kesantunan, seorang pejabat menempatkan diri sejajar sebagai manusia bukan menjulang bak penguasa.
Tapi, kesantunan tanpa kebijaksanaan itu ibarat hiasan kosong. Kebijaksanaan menuntut pikiran yang jernih, nyali untuk menimbang, dan kemauan mendahulukan kepentingan bersama. Pejabat yang bijak tak gampang terburu-buru. Ia sadar, kebijakan yang lahir dari ketergesaan sering berujung penyesalan. Hukum dan data itu penting, ya. Tapi empati dan nurani tak kalah esensial. Kebijaksanaan baru benar-benar hidup ketika akal dan hati berjalan beriringan.
Dan fondasi dari semua itu? Integritas. Tanpanya, kesantunan dan kebijaksanaan jadi tak bermakna. Kekuasaan itu menggoda, sering menawarkan jalan pintas yang menggiurkan. Tapi jalan itu justru menggerogoti kepercayaan publik perlahan-lahan. Pejabat yang memilih hidup santun dan bijak biasanya mengambil jalan yang lebih sunyi. Memang tak ramai, tapi penuh martabat. Mereka paham, kepercayaan itu modal yang paling sulit dibangun, tapi paling mudah hancur berkeping-keping.
Di sisi lain, kerendahan hati adalah penyeimbang mutlak dari kewenangan yang besar. Pejabat yang rendah hati tak alergi kritik, tak gampang tersinggung, dan tak merasa terancam oleh kecerdasan orang lain. Mereka mengerti, jabatan ini sifatnya sementara. Tapi dampak dari tindakan kita bisa bertahan lama. Dengan kerendahan hati, seorang pejabat justru bisa belajar, memperbaiki diri, bahkan mengakui kesalahan tanpa harus kehilangan wibawanya.
Artikel Terkait
Fadli Zon Pastikan Revitalisasi Gedung Sarekat Islam Semarang Dimulai 2026
Detak Jantung dan Segel Map: Saat Ijazah Jokowi Akhirnya Terbuka di Ruang Gelar Perkara
BSI Salurkan Rp245 Juta untuk Dukung Pendidikan Anak Asuh di Bogor
BI Jatim Salurkan Bantuan Kendaraan untuk Pesantren hingga Sekolah