Dua jeriken kosong itu terayun di tangannya. Kaki Sari, 34 tahun, menapak pelan di lumpur yang masih lekat. Seharusnya cuma 200 meter ke titik air, tapi karena listrik padam dan pompa mati, jaraknya membengkak jadi hampir satu kilometer. Saat senja merayap, yang ia pikul bukan cuma 20 liter air, tapi juga rasa was-was setiap mendengar langkah di belakangnya.
Ia adalah satu dari hampir 900 ribu jiwa yang masih terdampar di pengungsian, dua pekan setelah banjir bandang dan longsor melanda Sumatera. Angka resminya memang dingin: 969 korban tewas, lebih dari 5.000 terluka per pertengahan Desember 2025. Tapi di balik statistik itu, ada kisah lain yang lebih sunyi dan getir. Kisah tentang bagaimana bencana jarang bersikap netral, terutama terhadap perempuan.
Rumah Hilang, Beban Berlipat
Semua berawal dari gemuruh air di pukul tiga dini hari. Evakuasi berlangsung panik. Polanya nyaris sama di Aceh, Sumut, dan Sumbar: para lelaki mengangkut barang, sementara perempuan menggendong anak serta membawa orang tua. Pola yang kemudian mengeras jadi beban tak terlihat di pengungsian.
Laporan Gender Alert 2, terbit 12 Desember, menggambarkan situasi ini dengan teliti. Dari 158 ribu rumah yang rusak, ribuan keluarga terpaksa menumpang di sekolah atau balai desa. Kepadatannya luar biasa, privasi nyaris nihil.
Bagi perempuan seperti Sari, tempat penampungan bukan cuma tempat berteduh. Itu jadi medan tugas baru yang penuh risiko. Dengan ratusan fasilitas kesehatan rusak dan jaringan air bersih lumpuh, tanggung jawab mengelola air dan kebersihan jatuh ke pundak mereka. Mereka harus menempuh jalan lebih jauh, antre lebih lama, di jalur yang gelap dan tak terlindungi.
"Beban perawatan yang dibebankan kepada mereka semakin berat," begitu bunyi analisis dalam laporan tersebut.
Beban itu nyata. Dinkes Sumut melaporkan lonjakan kasus diare, tifus, hingga infeksi pernapasan di daerah seperti Langkat. Dan yang mencengangkan, tingkat kesakitan di kalangan perempuan relatif lebih tinggi. Laporan itu menduga, hal ini terkait peran perawatan yang mereka emban, sehingga paparan risikonya pun lebih besar.
Kebutuhan yang Bisu di Balik Terpal
Di sudut sebuah ruang kelas yang jadi penampungan, seorang remaja putri berusaha menyembunyikan pembalut bekas di balik kresek. Ia bingung harus membuangnya ke mana. Toilet umum yang ada campur, jauh, dan gelap. Maka ia memilih menahan diri sampai larut malam.
Ini fragmen dari "kebutuhan spesifik" yang sering luput dari bantuan logistik massal. Gender Alert 1 sudah mengingatkan soal ini awal Desember. Bantuan awal fokus pada sembako, tapi belum menjawab kebutuhan kelompok rentan. Laporan lanjutan merincinya: perlengkapan kebersihan pribadi, kesehatan menstruasi, kontrasepsi. Tanpa itu, martabat dan kesehatan reproduksi pengungsi perempuan terancam.
Namun, penyediaannya terbentur dinding data. Asesmen kebutuhan sempat terhambat karena ketiadaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia, dan disabilitas. Akibatnya, kebutuhan spesifik banyak yang belum tertangani optimal. Untuk mengejar ketertinggalan, UN Women dan UNFPA bersama BNPB akhirnya melatih enumerator lokal untuk mengumpulkan data yang lebih rinci.
Artikel Terkait
Di Aceh, Malam Tahun Baru Sunyi Terompet, Ramai Doa untuk Korban Bencana
9 Juta Hektar Sawit Ilegal: Negara Dituding Tutup Mata Atas Kebun Tanpa HGU
Kapolri Gebrak Rotasi, Polwan Kuasai Jabatan Strategis
Kapal Maulana 30 Terbakar di Perairan Tanggamus, 8 ABK Masih Hilang