Sebaliknya, tekanan, budaya membanding-bandingkan, dan standar tunggal yang kaku justru mematikan. Banyak anak berbakat yang akhirnya jadi underachiever. Potensinya besar, tapi prestasi akademisnya rendah. Ini bukan soal kemalasan. Ini soal rasa aman. Mereka tidak pernah merasa cukup aman untuk menjadi diri sendiri.
Mengapa Banyak Anak Berbakat Tak Pernah Ditemukan?
Jawabannya mungkin karena kita terlalu percaya bahwa kecerdasan bisa diringkas dalam satu angka. Padahal, menurut sejumlah ahli, keberbakatan itu bukan cuma soal kemampuan di atas rata-rata. Tapi juga meliputi kreativitas dan komitmen yang kuat terhadap suatu tugas.
Ada anak yang penuh ide, tekun, dan punya dorongan besar. Tapi mereka gagal bersinar karena tidak cocok dengan sistem belajar yang berlaku. Ketika pendidikan cuma mengandalkan tes dan nilai, ya banyak potensi yang terlewat. Anak-anak ini tidak bodoh. Mereka hanya tidak diukur dengan cara yang adil untuk mereka.
Pendidikan yang Seharusnya Mengerti, bukan Menghakimi
Lalu, apa yang dibutuhkan anak berbakat? Mereka butuh pendidikan yang berbeda. Bukan yang istimewa secara berlebihan, tapi yang manusiawi. Pendekatan seperti pendidikan berdiferensiasi lewat pengayaan materi, percepatan, atau metode individual bisa memberi ruang bagi anak untuk belajar sesuai ritmenya sendiri.
Model integrasi di kelas reguler dengan perlakuan khusus juga bisa jadi pilihan yang lebih sehat. Dengan begini, anak tidak merasa dipisahkan, tapi justru dipahami. Peran guru pun bergeser. Dari sekadar pengajar menjadi pendamping yang membantu anak mengenali kekuatannya sendiri.
Mengubah Pertanyaan yang Salah
Mungkin, akar masalahnya ada pada pertanyaan yang selama ini kita ajukan. Kita terlalu sering bertanya, "Siapa yang paling pintar di kelas?" Padahal, pertanyaan yang lebih tepat adalah, "Apa yang membuat anak ini istimewa?"
Pada dasarnya, setiap anak itu cerdas. Hanya saja, dengan cara yang berbeda-beda. Pendidikan yang adil bukan tentang menyamaratakan semua anak. Tapi tentang memberi ruang agar setiap anak bisa tumbuh tanpa harus meninggalkan jati dirinya. Iya, anak berbakat memang tidak selalu juara kelas.
Tapi kalau pendidikan mau berhenti menyederhanakan arti kecerdasan, mereka punya peluang. Peluang untuk tumbuh jadi manusia utuh yang percaya diri, hidupnya bermakna, dan bisa memberi dampak positif bagi sekitarnya.
Artikel Terkait
Prabowo Soroti 29 Juta Warga Tanpa Rumah, Tegaskan Pemberantasan Korupsi Kunci Utama
Rustam Effendi Klaim Ijazah Jokowi Palsu Usai Lihat Dokumen di Polda
2025: Saat Layar Lebar Indonesia Dikuasai Animasi, Horor, dan Kisah Masa Depan
Rustam Effendi Klaim Foto di Ijazah Jokowi Palsu: Lihat Saja Mulut dan Kacamatanya