Media massa punya peran krusial untuk menjaga agar empati publik tak mudah menguap. Sayangnya, pemberitaan kerap terfokus pada fase awal yang sensasional. Proses hukum yang berbelit, pemulihan korban, atau evaluasi kebijakan pascakasus jarang dikawal dengan konsisten.
Logika bisnis media digital yang mengejar klik dan trafik turut memperparah pola ini. Isu baru selalu dianggap lebih menarik daripada perkembangan kasus lama. Padahal, justru di fase-fase berikutnya inilah publik butuh informasi mendalam dan berkelanjutan.
Media bukan sekadar penyampai kabar. Ia juga pengawal kepentingan publik. Konsistensi liputan adalah bentuk empati institusional yang sangat dibutuhkan untuk mendorong akuntabilitas negara.
Negara yang Bergerak Saat Ramai Saja
Empati publik yang temporer sering diikuti respons negara yang sama reaktifnya. Saat tekanan publik tinggi, negara bergerak cepat. Tapi begitu tekanan mereda, komitmennya ikut luntur.
Ini terlihat dari banyaknya kebijakan yang diumumkan saat isu viral, tapi implementasinya lembek di kemudian hari. Perlindungan korban tak bisa bergantung pada seberapa ramai sebuah kasus dibicarakan. Negara harusnya bekerja berdasarkan sistem dan prinsip keadilan, bukan mengikuti arus popularitas.
Kalau empati publik terus jadi satu-satunya pemantik, maka keadilan akan selalu bersifat sementara dan pilih-pilih.
Lalu, Bagaimana Seharusnya Kita Berempati?
Empati sejati itu tak diukur dari seberapa keras kita berteriak di awal, tapi dari seberapa lama kita mau bertahan. Empati yang dewasa menuntut konsistensi, kesabaran, dan keterlibatan yang tak putus di tengah jalan.
Kita perlu menggeser makna empati. Dari sekadar reaksi emosional, menjadi komitmen moral. Ikuti perkembangan kasus, dukung lembaga pendamping korban, dan terus menagih akuntabilitas pada yang berwenang. Itu bentuk empati yang lebih bermakna.
Empati juga berarti memberi ruang bagi korban untuk pulih tanpa terus-menerus dipapar. Tidak semua dukungan harus diumbar di media sosial. Kepedulian yang senyap justru sering kali lebih berdampak.
Agar Empati Tak Cuma Jadi Tren Sesaat
Kalau empati publik cuma bertahan selama trending, ya, keadilan akan selalu ketinggalan. Kita mungkin merasa sudah peduli, tapi sistem tak berubah dan korban tetap berjuang sendirian. Kemarahan kolektif tanpa keberlanjutan cuma akan melahirkan kelelahan sosial, bukan perubahan.
Sudah waktunya kita merawat empati agar tak gampang padam. Media harus konsisten mengawal isu. Negara wajib membangun sistem yang bekerja tanpa menunggu viral. Dan masyarakat perlu melampaui empati simbolik, menuju kepedulian yang betul-betul berkelanjutan.
Empati sejati tak butuh sorotan. Ia bertahan dalam waktu, bekerja dalam kesunyian, dan berani hadir bahkan ketika tak ada satu pun kamera yang merekam. Jika empati kita mampu melampaui tren, di situlah keadulan punya peluang untuk benar-benar tumbuh.
Artikel Terkait
Misteri Pembunuhan Bocah 9 Tahun di Cilegon, CCTV Rusak Dua Minggu Sebelumnya
Suka Duka Tawa: Menertawakan Luka Lama di Atas Panggung Stand-Up
Pemerintah Siapkan Bantuan Tunai Rp600 Ribu bagi Pengungsi yang Ogah Tinggal di Huntara
Bencana Sumatra: Uluran Tangan Timur Tengah Ditolak, Kemandirian Dipertanyakan