Al-Qurthubi malah menambahkan beban tanggung jawab itu. Bagi orang berilmu, kata dia, dosa bisa lebih besar jika tahu kebenaran tapi tak diamalkan. Ilmu seharusnya menggerakkan, bukan cuma jadi simpanan.
Dari sudut lain, Fakhruddin Ar-Razi mengajak kita berpikir logis. Pertanyaan “afalā ta‘qilūn” – “tidakkah kamu berpikir?” – menegaskan bahwa sikap tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan itu jelas-jelas tidak masuk akal. Nggak logis. Orang yang waras pasti akan berusaha menyelaraskan keduanya.
Nabi Muhammad Saw juga pernah menggambarkan konsekuensi mengerikan lewat sebuah hadis. Diceritakan, di akhirat nanti ada seorang yang ususnya terburai, berputar-putar di neraka seperti keledai mengitari penggilingan. Saat ditanya para penghuni neraka, ia menjawab dengan penuh penyesalan:
“Dulu aku suka menyuruh orang berbuat baik, tapi aku sendiri tidak melakukannya. Aku juga melarang kemungkaran, justru aku yang melakukannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bayangan itu saja sudah cukup membuat kita merinding. Jelas, tanggung jawab moral orang yang berilmu dan berdakwah itu jauh lebih berat.
Relevansi yang Tak Pernah Pudar
Kalau kita jujur, pesan ayat ini terasa sangat dekat dengan kenyataan hari ini. Banyak, kan, orang yang piawai berceramah atau menulis nasihat agama, tapi dalam kesehariannya? Nilai-nilai yang ia kumandangkan seolah mandek di panggung, tidak meresap ke dalam lakon hidupnya.
Persoalannya sering bukan pada kurangnya ilmu. Tapi pada komitmen. Pada konsistensi yang lemah.
Di sinilah hikmah utamanya: kita diajak untuk selalu menjaga keseimbangan. Antara tahu dan melakukan. Dalam Islam, kualitas seseorang tidak cuma diukur dari seberapa tebal buku yang dibaca atau seberapa fasih ia berbicara, tapi dari sejauh mana ilmunya mewujud dalam tindakan nyata.
Maka, sebelum menyuruh orang lain shalat tepat waktu, sudahkah kita disiplin? Sebelum menasihati tentang kejujuran, sudahkah kita jujur dalam hal-hal kecil? Introspeksi dan perbaikan diri harus jadi langkah pertama. Keteladanan adalah kunci yang membuat seruan kita punya daya pengaruh, punya jiwa.
Wallahu a’lam.
Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Universitas PTIQ Jakarta.
Artikel Terkait
Rustam Effendi Klaim Foto di Ijazah Jokowi Palsu: Lihat Saja Mulut dan Kacamatanya
Bahlil Tegaskan Golkar Bukan Kendaraan Pribadi
Membongkar Kultur Diam: Ketika Kompromi Melahirkan Ketimpangan
Jogja Siaga Sampah, Lonjakan 40 Persen Mengintai Saat Nataru