Bagi Sutoyo, ini menunjukkan kegagalan kepemimpinan. Presiden, seharusnya, memikul tanggung jawab dan bertindak cepat mengatasi penderitaan rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. “Presiden sibuk dengan imajinasinya yang tidak jelas arahnya,” tegasnya.
Ia mempertanyakan logika di balik sikap pemerintah. “Setan darimana, belajar dengan siapa dalam kondisi darurat bencana? Setiap empati dicurigai, setiap solidaritas dituduh agenda. Inilah wajah kekuasaan yang gagal membedakan antara empati dan konspirasi.”
Narasi yang dibangun terasa semakin getir. Sutoyo menggambarkan kondisi korban yang tragis, hingga jenazah yang membusuk tak terurus. Penderitaan itu, sayangnya, justru dijadikan alat politik.
“Kita yang menyaksikan sesak nafasnya malah diseret ke politik. Penderitaan dan kesedihan dipaksa masuk dalam citra dan pencitraan,” ujarnya.
Kritiknya mencapai puncak dengan menyitir pidato Presiden Prabowo sendiri. Dalam sebuah kesempatan, Prabowo pernah berjanji siap mati demi bangsa dan rakyat Indonesia.
Nah, menurut Sutoyo, janji itulah yang kini harus ditagih. Ribuan rakyat tak berdosa telah menjadi korban banjir. “Sesuai janjinya, sudah tiba saatnya presiden tidak ragu harus mati bersama mereka,” tandasnya keras.
Dan dengan kalimat penutup yang dramatis, ia menyimpulkan: “Presiden akan tamat, dijemput oleh arwah yang menagih janjinya untuk mati bersama mereka.”
Artikel Terkait
Trump Desak Ukraina Segera Akhiri Perang, Sebut Rusia Sudah Siap
KPK Amankan Bupati Bekasi dalam Operasi Dini Hari
Ketika Uang Berhenti Bergerak: Dilema Ekonomi di Tengah Gelombang Pesimisme
Rusia Ingatkan Trump Soal Venezuela: Jangan Lakukan Kesalahan Fatal