Husnuzhon Rakyat Tergerus: Bencana Sumatera dan Perkap Sigit Uji Wibawa Prabowo

- Rabu, 17 Desember 2025 | 10:25 WIB
Husnuzhon Rakyat Tergerus: Bencana Sumatera dan Perkap Sigit Uji Wibawa Prabowo

Bencana Sumatera, Perkap 10/2025, dan Habisnya Husnuzhon Rakyat

Oleh Edy Mulyadi
Wartawan Senior

Pilpres 2024 dimenangi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Banyak yang yakin, kemenangan itu didapat dengan cara curang. Sistematis, massif, dan terstruktur. Hasil dari cawe-cawe Jokowi, sebuah kemenangan haram yang melibatkan aparat dan birokrasi yang mestinya netral.

Namun begitu, waktu berjalan. Kemarahan publik sedikit mereda, berganti “pemakluman”. Ya sudahlah, faktanya Prabowo kini presiden. Dia harus dibantu. Jangan sampai malah ditelikung oleh Jokowi dan geng solonya. Kalau itu terjadi, Gibran bisa naik lebih cepat. Bukan cuma Prabowo yang terpelanting, tapi seluruh negeri bisa masuk dalam bencana besar!

Lalu, banyak yang berusaha menimbun husnuzhon untuk Presiden Prabowo. Selalu mencari pembenaran untuk setiap sikap dan kebijakannya yang kerap tak masuk akal. Terus memuji Jokowi, mengaku muridnya, terang-terangan klaim sebagai tim Jokowi. Berteriak “hidup Jokowi!” saat tuntutan adili dia menggema di mana-mana. Mengambil alih tanggung jawab utang kereta cepat Woosh. Membisu soal skandal ijazah palsu yang memenjarakan warganya. Tak kunjung mencopot Kapolri Sigit. Janji reformasi Polri menguap begitu saja. Dan masih banyak lagi.

Meski banyak yang aneh, sebagian publik masih berprasangka baik. Mungkin Prabowo sedang berstrategi. Tindakan terhadap Jokowi dan Kapolri harus hati-hati, tidak bisa sembrono. Taruhannya stabilitas negeri.

Tapi semua itu mulai goyah. Ketika Prabowo tak kunjung menetapkan musibah Sumatera sebagai bencana nasional, rakyat mulai berpikir ulang. Sungguh-sungguh. Lalu, muncullah Perkap nomor 10 tahun 2025 dari Kapolri. Pertanyaan pun mengemuka: masih bisakah dia diharapkan?

Dua Pukulan Telak

Dua peristiwa teranyar itu musibah Sumatera dan Perkap 10/2025 rupanya ampuh menguras stok husnuzhon publik sampai habis.

Bencana Sumatera bukan peristiwa kecil. Korban jiwa, infrastruktur hancur, penderitaan nyata di depan mata. Ratusan ribu kayu gelondongan hanyut menghancurkan rumah warga membuka mata: ini bukan bencana alam biasa. Ini kehancuran yang direncanakan. Hasil perselingkuhan jahat antara pengusaha dan penguasa yang merusak alam.

Dalam situasi seperti itu, publik menunggu hal paling mendasar dari seorang presiden: empati yang tegas. Keberpihakan yang jelas. Namun yang muncul justru kesan dingin, datar, birokratis. Negara hadir setengah hati. Presiden memilih jarak. Bantuan, jika ada, jumlahnya tak seberapa dan penuh kendala. Uluran tangan internasional ditampik. “Kami masih mampu. APBN kami cukup,” kilah Prabowo.

Di saat bersamaan, publik dikejutkan oleh terbitnya Perkap 10/2025. Regulasi ini bukan cuma soal administratif. Ia menabrak prinsip fundamental reformasi. Bahkan terang-terangan berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang polisi aktif duduk di jabatan sipil. MK sudah berbicara. Konstitusi memberi batas. Tapi Kapolri melangkah melewati garis itu dengan percaya diri.


Halaman:

Komentar