Yang lebih memicu kemarahan adalah kepasifan Presiden. Tidak ada koreksi. Tidak ada teguran, apalagi pencopotan. Tidak ada pernyataan tegas. Presiden pilihan rakyat justru seperti membiarkan.
kata Pemerhati intelejen, Sri Radjasa Chandra.
Pertanyaan pun mengeras. Mengapa Prabowo begitu tumpul terhadap Kapolri? Apa dia takluk pada Sigit? Presiden takut pada Kapolri?
Sebagai presiden, dia punya kewenangan penuh untuk memanggil, menegur, bahkan membatalkan kebijakan Kapolri. Ini soal konstitusi dan tertib negara. Tapi yang terjadi malah sebaliknya: presiden diam, Kapolri terus melaju. Relasi kekuasaan terlihat terbalik.
“Prabowo Bukan Presiden, Tapi Sigit”
Selasa, 16 Desember, pernyataan keras meluncur dari Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. “Prabowo bukan presiden, tapi Sigit,” katanya. Dan keduanya, lanjut Gatot, berada dalam kendali Jokowi. Mantan Panglima TNI itu menyebutnya sebagai Peringatan Terbuka dan Terakhir kepada Prabowo.
Pernyataan yang kontroversial, tentu. Tapi ia tidak lahir dari ruang hampa. Fakta-fakta di lapangan memberi bahan bakar bagi kecurigaan yang sudah membara di publik.
Di sinilah problem sesungguhnya. Negara ini bukan cuma hadapi krisis kebijakan. Tapi juga krisis kepercayaan. Ketika presiden tak tunjukkan sikap tegas atas pelanggaran hukum, rakyat bertanya: siapa yang pegang kendali? Ketika bencana tak direspons dengan kepemimpinan yang empatik, rakyat bertanya: apa penderitaan mereka benar-benar dianggap penting?
Mungkin sebagian masih coba berpikir positif. Barangkali Prabowo sedang berhitung politik. Tidak ingin gaduh di awal pemerintahan. Terikat kompromi kekuasaan warisan rezim sebelumnya. Bisa saja. Tapi negara tidak bisa dipimpin dengan kata “mungkin”. Rakyat butuh kepastian sikap. Bukan teka-teki politik.
Sejarah mencatat, kekuasaan yang membiarkan pelanggaran hukum demi stabilitas semu, pada akhirnya menuai ketidakstabilan yang jauh lebih besar. Dan presiden yang terlalu lama diam, akan dinilai bukan sebagai negarawan, melainkan penonton. Atau bahkan wayang!
Kritik ini bukan kebencian. Ini peringatan. Sebab ketika husnuzhon rakyat benar-benar habis, yang tersisa hanya kemarahan dan perlawanan. Dan itu selalu datang dengan harga mahal. Terlalu mahal, bagi sebuah bangsa. []
Jakarta, 17 Desember 2025
Artikel Terkait
Gunungan Sampah di Tangsel Mulai Berkurang, Tapi Masih Ada yang Menggunung di Kolong Flyover
Ratusan Juta Rupiah Disita KPK dari Kantor dan Rumah Dinas Bupati Lampung Tengah
Fortuner Modifikasi Jadi Gudang Solar Ilegal, Bocor dan Bikin Warga Jatuh
Istri Oknum Polisi Gerebek Rumah Selingkuhan, Laporannya Mengambang Sejak Agustus