Polri, tegasnya, harus berdiri di atas semua golongan. Tugasnya melayani hukum dan keamanan rakyat, bukan kepentingan kekuasaan.
Lebih jauh, Amir juga menyoroti pentingnya peran masyarakat sipil. Akademisi, tokoh masyarakat, hingga lembaga pemantau HAM, punya ruang konstitusional untuk menyampaikan aspirasi. Mereka bisa memberi masukan melalui Komisi III DPR. Mekanisme uji kelayakan dan kepatutan di DPR itu forum yang krusial. Di situlah rekam jejak dan integritas calon diuji.
“Ini bagian dari demokrasi partisipatif,” jelasnya.
Pada intinya, Amir Hamzah mengingatkan bahwa demokrasi bukan cuma soal siapa yang berkuasa. Tapi juga bagaimana kekuasaan itu dikendalikan. Checks and balances adalah fondasi utamanya, agar kekuasaan tidak terpusat pada satu tangan saja.
“Menghilangkan peran DPR dalam pemilihan Kapolri sama saja melemahkan pengawasan,” ujarnya. “Ini bisa jadi preseden buruk dan berdampak ke sektor lain.”
Wacana ini, di mata Amir, juga berisiko memicu erosi kepercayaan publik. Terutama di tengah desakan masyarakat akan reformasi penegakan hukum yang lebih bersih dan adil.
Di akhir pernyataannya, ia berpesan agar pemerintah dan pembuat kebijakan tidak gegabah. Setiap perubahan mekanisme untuk pejabat strategis harus mengedepankan konstitusi dan kepentingan rakyat.
“Indonesia bukan negara kekuasaan tunggal,” pungkasnya. “Jangan sampai demi efisiensi atau kepentingan sesaat, prinsip demokrasi justru dikorbankan.”
Artikel Terkait
Kebakaran Hebat di Korsel Picu Polemik: Bencana Nasional atau Tindakan Lembek?
Lima Nelayan Bertaruh Nyawa Tiga Jam di Tengah Amukan Ombak Bali
Ahli Geologi Ingatkan: Hunian Korban Bencana di Sumatra Tak Boleh Dibangun di Atas Memori Bencana
Tito Pastikan Bantuan Rp 268 Miliar untuk Korban Bencana Tepat Sasaran