Manajemen Negara Berbasis “Kira-kira”
✍🏻 Arsyad Syahrial
Pernyataannya singkat: “Saya kira rakyat masih tegar. Saya disambut dengan sangat baik.” Tapi, sungguh, kalimat itu bikin saya terpaku. Benar-benar.
Ini bukan sekadar salah ucap. Bukan. Ini lebih mirip sinyal alarm yang berdering dari pusat tata kelola krisis. Sebuah pertanda yang, kalau kita abaikan, risikonya bakal besar.
Soalnya, ketegaran rakyat itu bukan bahan tafsiran perasaan. Itu fakta sosial yang harus dibaca dari angka, dari data riil di lapangan. Menggantinya dengan kata “kira-kira” adalah langkah pertama menuju kebijakan yang meleset.
Setidaknya, ada empat kegagalan fatal yang terselip dalam logika “saya kira” itu.
Pertama, Data Lawan Asumsi
“Saya kira” itu bahasa pengamat. Bukan bahasa penguasa. Seorang pemimpin digaji bukan untuk menebak-nebak suasana hati rakyatnya, tapi untuk memastikan kondisi mereka lewat data. Kebijakan publik harus berdasar bukti, bukan impresi dari kunjungan singkat yang serba teratur.
Parameter ketegaran pasca bencana itu konkret: daya beli, stok pangan, sanitasi, atap yang layak. Kalau asumsinya sudah “rakyat tegar”, urgensi bantuan bisa tergerus. Yang terlihat saat pejabat datang dengan sambutan hangat seringkali bertolak belakang dengan sunyinya keprihatinan di balik tenda-tenda pengungsian.
Artikel Terkait
Ahmed Al-Ahmed, Pahlawan Bondi yang Tertembak, Dapat Donasi Miliaran Rupiah
Prabowo Tegaskan di Sidang Kabinet: Korporasi Tak Boleh Kalahkan Negara
Kapolri Buka Suara soal Aturan Penempatan Polisi di 17 Kementerian
Polri Siapkan Contraflow hingga Posko Istirahat untuk Antisipasi Macet Libur Natal