Pertengahan 2011, status saya akhirnya jadi wartawan tetap. Tak lama, dapat tugas. Atau lebih tepatnya, 'dipingitkan' ke Barito Timur, di Kalimantan Tengah. Buat saya yang biasa dengan polusi dan keriuhan ibukota provinsi, daerah ini seperti dunia lain. Listrik bisa mati berhari-hari. Warung-warung tutup sebelum maghrib. Suasana yang benar-benar berbeda.
Nah, di tengah 'jetlag budaya' itu, saya mengalami satu kejadian yang sulit dilupakan. Sebuah peristiwa yang langsung mengubah cara pandang saya soal hukum di negeri ini. Saat itu, saya meliput sebuah kecelakaan lalu lintas. Seorang pemotor menabrak seekor babi.
Awalnya sih, saya pikir ini kasus biasa. Urusan asuransi, ganti rugi, selesai di tempat. Ternyata, saya salah besar. Realitas hukum di sini punya buntut yang panjang sekali, melebihi antrian beras murah jaman dulu. Si pemotor itu harus membayar denda adat. Hukum yang mengakar kuat dalam budaya Suku Dayak di DAS Barito.
Di sinilah kelucuannya mulai terasa. Saya sampai bertanya-tanya dalam hati, ini diatur di pasal KUHP mana, ya? Apa ini masuk force majeure? Atau jangan-jangan force porci?
Kalau menurut hukum negara warisan Belanda itu babi cuma objek materil belaka. Paling-paling masuk Pasal 490 soal merusak barang, atau urusan lalu lintas. Dendanya mungkin cuma receh, setara segelas kopi di kafe mahal. Tapi di mata hukum adat Dayak setempat, ceritanya beda total.
Babi di sini bukan cuma babi. Dia itu mata uang. Simbol status. Apalagi babi betina, wah, itu ibarat investasi jangka panjang yang terus mencetak 'dividen' baru. Aset bergerak yang nilainya sungguh luar biasa.
Laporan ini bikin pusing, jujur saja. Sinyal telepon satelit di tempat saya saat itu naik-turun, mirip grafik forex yang lagi kacau. Dengan susah payah, akhirnya saya bisa menghubungi redaktur sekaligus mentor saya, Bos Top.
"Jadi, Fit, dendanya berapa tepatnya?" tanya Bos Top, suaranya terputus-putus di seberang sana. "Ini masuknya kriminal atau perdata? Judulnya tolong yang biasa aja, jangan aneh-aneh!"
"Puluhan juta, Bos! Bisa nyampe belasan atau dua puluh juta kalau yang ditabrak babi betina!" teriak saya, hampir-hampir tak percaya. "Ini bukan kriminal atau perdata, Bos. Ini sui generis, hukum adat! Datanya valid, ini menyangkut budaya warga sini."
"Gila! Lebih mahal dari motornya sendiri. Pastikan datanya akurat, jangan sampai salah. Urusan adat ini sensitif," pesannya panjang lebar. Dia sendiri terdengar bingung mau taruh berita ini di rubrik apa. Mungkin rubrik 'Investigasi' atau malah 'Kearifan Lokal'?
Artikel Terkait
Prabowo Soroti Penanganan Bencana, Janji Turun Lapangan Tiap Pekan
Menteri Zulhas Santap Makan Enak dan Pegang Cerutu Mewah Saat Tinjau Lokasi Banjir Aceh
Bayi 6 Bulan Tewas Usai Dilempar Ayahnya di Ciputat
Prabowo Tegas Larang Pejabat Wisata Bencana