Tanpa sadar, kita terdorong ke ranah yang serba instan, diatur oleh hukum "swipe" dan "like". Popularitas ajaran agama mulai diukur dari jumlah share, bukan kedalaman pesannya. Akibatnya, otoritas pun bergeser. Dari ulama atau pastor tradisional, beralih ke influencer digital yang mungkin populer, tapi kompetensi teologisnya belum tentu teruji.
Bukan cuma otoritas yang berubah. Cara berdoa pun ikut beradaptasi. Sekarang, lewat aplikasi, orang bisa "menekan tombol" untuk berdoa atau mengikuti kebaktian virtual yang dirancang untuk kenyamanan maksimal. Prinsip McDonaldization ala George Ritzer efisiensi, prediktabilitas, kontrol ikut merasuki pengalaman religius. Semua distandarkan agar cepat, mudah, dan konsisten. Bahkan, kemasannya kerap mirip hiburan.
Di Persimpangan: Iman atau Komoditas?
Di titik inilah dilema etisnya muncul. Pertanyaannya sederhana tapi sulit: apakah makna spiritual agama tetap terjaga, atau justru tunduk pada logika konsumsi? Di satu sisi, digitalisasi memang memperluas akses. Tapi di sisi lain, ia juga memicu fragmentasi dan individualisasi yang ekstrem.
Komunitas religius tradisional pelan-pelan kehilangan peran sentralnya. Praktik beragama yang dulu kolektif, kini jadi pengalaman personal yang disaring sesuai preferensi digital masing-masing orang.
Bahaya fragmentasi ini nyata, apalagi di Indonesia dengan penetrasi internet yang tinggi, menembus lebih dari 78% populasi. Dengan angka segitu, praktik keagamaan digital pasti akan makin masif. Aplikasi doa, streaming pengajian, komunitas diskusi online semuanya mendorong orang untuk beralih ke platform digital.
Tapi masalahnya, ketika agama dibingkai dalam logika efisiensi dan pengalaman pengguna, mau tak mau ia harus ikut aturan pasar: menarik, cepat, dan menghibur. Alhasil, iman bisa berubah sekadar menjadi "user experience".
Fenomena ini seperti membenarkan tesis Possamai tentang post-secularism. Wajah agama kembali ke ruang publik, tapi dalam bentuk yang sudah "dibentuk ulang" oleh budaya yang berubah. Di Indonesia, di mana agama punya peran sosial-politik yang vital, pembentukan ulang ini terjadi lewat tempaan kapitalisme digital. Orang bisa memilih cara beragama yang cocok dengan seleranya, sekaligus mengonsumsi konten keagamaan layaknya produk digital. Istilah sederhana seperti "like" atau "swipe" pun jadi bagian dari ritual modern, simbol validasi spiritual di dunia virtual.
Lantas, tantangan terbesarnya apa? Mungkin, bagaimana menyeimbangkan kebutuhan spiritual yang otentik dengan kenyamanan digital yang instan. Agama harus tetap menjadi ruang transformasi batin yang mendalam, bukan cuma produk yang dikonsumsi sekali lalu dilupakan. Dalam dunia di mana swipe, like, dan berdoa bisa terjadi dalam satu genggaman, tugas kita adalah memastikan iman tetap manusiawi. Bukan cuma user-friendly.
Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen pada Sekolah Tinggi Teologi KHKT (Kölner Hochschule für Katholische Theologie), Keuskupan Agung Köln, Jerman.
Artikel Terkait
Mahasiswa Terjerat Budaya Sibuk: Perlukah Kita Berhenti Mengejar Produktivitas Tanpa Henti?
Ngopi dan Gorengan Disorot, Denny Sindir Logika Deforestasi Hasan Nasbi
Video Asusila Viral Diklaim dari Pabrik Brebes, Perusahaan Bantah Tegas
UBL dan Mitra Rancang Aksi Nyata Atasi Banjir di Pesawahan