Polykarp Ulin Agan
Dunia digital telah mengubah segalanya, tak terkecuali cara kita beragama. Zona nyaman tradisional seperti masjid, gereja, atau pura kini bukan lagi satu-satunya tempat mencari ketenangan batin. Ada pergeseran yang pelan namun pasti, menuju praktik keagamaan yang serba digital dan lebih personal. Sosiolog Adam Possamai punya istilah menarik untuk ini: "The i-zation of Society".
Gagasan itu ia uraikan dalam bukunya, The i-zation of Society, Religion, and Neoliberal Post-Secularism (2017). Intinya, hidup kita sekarang didikte oleh digitalisasi, individualisasi, dan budaya instan. Nah, yang menarik, ketiga hal ini ternyata merembes juga ke ranah spiritual. Ibadah dan interaksi keagamaan pun ikut berubah wajah.
Ketika Agama Menyentuh Layar
Sebuah survei di Journal of Ethnic and Cultural Studies (2021) mengungkap motivasi orang Indonesia mengikuti konten religius di media sosial. Ternyata, ada tiga hal utama yang dicari. Pertama, pencerahan spiritual. Lalu, informasi berbasis iman. Dan yang ketiga, semacam kesejahteraan batin dari konten keagamaan itu sendiri.
Dari sini, perlahan-lahan makna otoritas pun bergeser. Apa yang dulu dipegang teguh oleh institusi dan figur seperti ustad atau pendeta, kini bisa jadi berbeda. Mircea Eliade menyebut "yang religius" itu kini tak lagi terikat tembok fisik. Siapa pun bebas mencari "atap" spiritual di akun mana pun yang membuatnya nyaman, mencari figur yang kata-katanya menyentuh relung hatinya.
Namun begitu, kalau dicermati, fenomena ini tak lepas dari logika pasar neoliberal yang merambah ke mana-mana, termasuk ke spiritualitas. Possamai menyebutnya punya elective affinity, semacam ketertarikan timbal balik. Agama pun mulai beradaptasi dengan mekanisme pasar, branding, dan standar efisiensi entah disengaja atau tidak.
Di Indonesia, buktinya bisa dilihat di mana-mana. Seminar agama yang diproduksi bak konser profesional, merchandise religius, sampai pengajar agama yang membangun "personal brand" lewat media sosial. Lihat saja akun Instagram pengajian atau ibadah tertentu, pengikutnya bisa ratusan ribu.
Kontennya didesain profesional, tentu saja.
Para "aktor" di baliknya berusaha menarik perhatian, meningkatkan engagement, bahkan mendatangkan sponsor. Agama, dengan dalih affinity tadi, tak cuma soal pengalaman batin lagi. Ia juga bisa jadi komoditas yang dikonsumsi.
Artikel Terkait
Mahasiswa Terjerat Budaya Sibuk: Perlukah Kita Berhenti Mengejar Produktivitas Tanpa Henti?
Ngopi dan Gorengan Disorot, Denny Sindir Logika Deforestasi Hasan Nasbi
Video Asusila Viral Diklaim dari Pabrik Brebes, Perusahaan Bantah Tegas
UBL dan Mitra Rancang Aksi Nyata Atasi Banjir di Pesawahan