Tangis Sumatra: Alarm Keadilan yang Tak Boleh Diabaikan

- Minggu, 14 Desember 2025 | 06:00 WIB
Tangis Sumatra: Alarm Keadilan yang Tak Boleh Diabaikan

Sumatra yang Menangis dan Indonesia yang Harus Bangkit

Sumatra itu lebih dari sekadar pulau. Ia adalah ingatan. Ingatan panjang tentang hutan yang masih bernapas lega, sungai-sungai yang menghidupi peradaban, dan tentang manusia yang hidup dalam kesepakatan sunyi bersama alam. Dari ujung Aceh hingga Lampung, denyut sejarah Indonesia tersimpan di sini. Sayangnya, denyut itu kini terasa melemah. Bukan karena kehilangan jiwa, tapi karena luka yang dibiarkan terlalu lama.

Kita kerap membanggakan Indonesia sebagai bangsa besar. Tapi, apa artinya kebesaran itu jika sebagian dari tubuhnya dibiarkan merintih? Tangis Sumatra tidak selalu berupa air mata. Ia berupa hutan yang gundul, tanah yang pecah-pecah, sungai yang keruh, dan masyarakat yang ruang hidupnya menyempit setiap hari. Tangisnya lirih, seolah takut mengganggu gemerlap "pembangunan" di seberang lautan.

Di sisi lain, ironinya justru di situlah. Sumatra adalah salah satu penopang ekonomi negeri ini. Hasil bumi, energi, kekayaan alam banyak yang bermula dari sini. Tapi apa yang seringkali diterima oleh rakyatnya? Debu, asap, dan janji yang menguap. Saat hutan dibabat, saat tanah adat tergusur, pertanyaan yang muncul sebenarnya sederhana: untuk siapa semua ini?

Kebangsaan sejati bukan cuma slogan. Bukan sekadar bendera atau lagu kebangsaan yang dinyanyikan dengan kencang. Ia adalah keberanian mendengar tangisan dari wilayah yang jauh dari ibu kota. Ia adalah empati yang mampu menembus batas pulau dan kepentingan. Kalau Sumatra menangis, sebenarnya Indonesia-lah yang menangis. Cuma, kita mungkin terlalu sibuk untuk menyadarinya. Lihat saja, mengapa kasus-kasus bencana di Aceh, Sumut, atau Sumbar kerap hanya jadi berita lokal, tak benar-benar diangkat sebagai persoalan nasional?

Sumatra punya sejarah panjang melahirkan pemikir-pemikir besar bangsa. Dari sini lahir suara-suara kritis yang mempertanyakan keadilan dan harga diri. Artinya, Sumatra tidak butuh dikasihani. Yang dia minta cuma satu: keadilan. Keadilan untuk dianggap sebagai subjek, bukan cuma objek eksploitasi. Keadilan untuk didengar, bukan sekadar dihitung angka kontribusinya di laporan statistik.

Membiarkan ketimpangan terjadi sama saja meretakkan fondasi bangsa kita. Sebab bangsa ini takkan kuat jika hanya bertumpu pada satu pusat. Indonesia akan goyah kalau Sumatra, Kalimantan, Papua, dan wilayah lainnya terus menanggung beban yang tak seimbang. Tangisan satu pulau seharusnya jadi alarm peringatan bagi kita semua.

Tapi, ini bukan cuma soal meratapi keadaan. Justru, tangisan itu bisa jadi awal sebuah kebangkitan. Sumatra tidak memerlukan belas kasihan, melainkan solidaritas nyata. Solidaritas sesama anak bangsa untuk mendorong kebijakan yang memihak manusia dan lingkungan hidup. Kita harus ingat, pembangunan tanpa nurani itu cuma jalan pintas menuju kehancuran.


Halaman:

Komentar