Adegan itu muncul tiba-tiba di depan mata. Sungguh menyebalkan. Dari arah timur, rombongan truk polisi dan barakuda melintas. Mungkin sedang evakuasi, entahlah. Truk-truk itu penuh sesak dengan anggota kepolisian. Tapi, anehnya, tak satu pun dari mereka yang terlihat sedang membantu warga.
Tak jauh dari situ, sepasang suami istri tampak kelelahan. Mereka berjalan pelan, membawa bawaannya, sepertinya ingin menuju Banda Aceh. Dengan sisa tenaga, sang suami menghampiri sebuah truk yang berhenti dan membuka pintu baknya. Minta tolong numpang.
Jawabannya? Larangan. Mereka cuma bisa termangu, kecewa. Seorang polisi bertubuh tegap dengan sigit menutup kembali pintu truk yang sudah terbuka itu.
Pak Polisi, bukankah sudah tugasmu melindungi dan melayani?
Bukankah rakyat membayar pajak untuk membiayaimu?
Pertanyaan itu mengusik. Dalam banjir besar dan kesulitan begini pun, rakyat tetap setia bayar pajak. Tapi giliran mereka yang butuh pertolongan, malah diabaikan begitu saja. Ironis.
Ngomong-ngomong soal ironi, setiba di Banda Aceh, sinyal muncul sebentar. Di Tiktok, video "Ikrar Ksatria Polri" sedang viral. Dipimpin langsung Pak Kapolri, diikuti para perwira tinggi. Dekorasinya pakai obor bambu dan minyak, mirip persami zaman SD dulu. Isi ikrarnya? Coba Anda cermati baik-baik. Tak ada satu pun kata yang bertenaga, yang mengentak kesadaran atau meyakinkan bahwa pembenahan fundamental sedang dilakukan. Budaya verbalisme makin menjadi-jadi. Seolah-olah dengan mengucap, tugas sudah selesai. Tim Reformasi yang dipimpin Prof Jimly Asshiddiqie pun seperti tak berbekas. Wallahua’lam.
Selera yang Tak Bisa Bohong
Sudah lama menahan, akhirnya saya minta izin numpang ke toilet di kantor Koramil. Ternyata kantornya sudah tiga hari terendam. Pos jaga di depan, yang agak tinggi, dipakai warga mengungsi.
Di dalam, genangan air masih 5-10 sentimeter. Menuju kamar mandi di belakang, beberapa istri prajurit sedang sibuk memasak untuk suaminya yang tinggal di mess. Selesai dari toilet, saya lihat tiga orang tentara sedang makan. Di meja, ada onggokan gorengan hangat: tempe, bakwan, tahu. Udara dingin dan basah membuatnya terlihat sangat menggoda.
Tanpa banyak pikir, saya minta izin. "Pak, boleh minta satu gorengan?"
"Ya, silakan! Silakan!" jawab mereka ramah.
Ya, selera asal memang tak bisa diajak jauh-jauh.
Rakyat yang Top
Kerumunan di depan Koramil mulai ramai. Cuaca tak segelap tadi. Rupanya ada pejabat Dinas Sosial dan politisi Gerindra. Kami sempat berbincang soal bantuan. Anggota DPRD dari Gerindra (saya lupa namanya) bercerita, stok SPPG sudah dialokasikan semua untuk korban. Tapi dapur umum tak bisa beroperasi karena banjir.
Kepala Dinas Sosial menambahkan, mereka sudah siapkan beras, mi, dan lain-lain. Telur langka, pasar tutup karena pedagangnya juga kena banjir. Kendala terbesar adalah membagi logistik dan mencari tahu titik pengungsian. Komunikasi putus total.
"Bapak-bapak di sini tidak punya handytalkie? Sistem komunikasi darurat?" tanya saya.
"Putus semua, Pak. Handytalkie pun baterainya habis, listrik mati," sahut mereka kompak.
Saya merenung. Betapa rapuhnya sistem kedaruratan kita. Renungan itu terpotong oleh sebuah truk dump yang melintas. Di atasnya, menumpanglah beberapa warga. Seorang anggota Koramil menghentikan truk dan meminta sopirnya menambah penumpang yang kelelahan.
"Bang, nitip. Ini kawan-kawan, jalannya masih jauh ke Aceh Besar."
Dengan riang si sopir menyahut, "Ayo, naik, naik!"
Di saat yang sulit, rakyat memang top!
Jaga SS
Pak Kadis Sosial, yang juga pengurus PMI, rupanya orang lapangan. Saat kami akan pergi, dia minta nomor saya. Lalu, dengan sigap dia menghentikan sebuah truk kontainer besar dan meminta sopirnya memberi jalan untuk kendaraan kami. Berada di belakang truk besar memang lebih aman, seperti dibukakan jalan.
Sopir kami pun merapat. Eh, di belakang truk kontainer itu, ada tulisan mencolok: "Jaga SS. SS Jaga Jarak."
Rupanya, Pak Kadis yang sesama pegiat kemanusiaan itu sedang 'menjaga' rombongan kami. Truk itu melaju perlahan, membelah wilayah banjir terdalam. Kami mengikutinya dengan hati-hati, berharap jalan ke Banda Aceh segera terbuka.
Artikel Terkait
Di Balik Deru Pesawat, Warga Kelaparan Menanti Bantuan
Dandhy Laksono: Indonesia Bisa Jadi Negara Miskin dalam 20 Tahun
Pelukan Hangat Prabowo di Tengah Puing Bencana
Di Pangandaran, Pak Wagyo Bertahan dengan Papan Selancar dan Filosofi Sepuasnya