Di Tengah Banjir, Rakyat Saling Topang Sementara Negara Tak Tampak Batang Hidung

- Sabtu, 13 Desember 2025 | 20:36 WIB
Di Tengah Banjir, Rakyat Saling Topang Sementara Negara Tak Tampak Batang Hidung

Keputusan pagi itu mengharukan. Satu mobil mogok. Tapi Ketua Tim, Bung Ansari Muhammad, bersikeras: semua harus bersama, tak boleh ada yang tertinggal. Jadilah Fortuner kami dimuati delapan orang. Saya di depan memangku koper. Sesak, tapi kompak.

Perjalanan seharian dilewati setahap demi setahap. Setiap lelah, kami berhenti, meluruskan kaki. Pukul 15.46, harapan mulai membuncah. Di depan ada tanjakan curam dengan genangan paling ekstrem. Seorang petugas berjas hujan bertuliskan "Polisi", dibantu warga, mengatur lalu lintas agar kendaraan bisa naik satu per satu.

Alhamdulillah, kami bisa lewati. Keputusan Bung Ansari untuk menjaga solidaritas ternyata sangat berarti. Sudah 30 tahun lebih saya belajar kepemimpinan. Dan kepemimpinan dalam krisis yang ditunjukkan Bung Ansari ini, sungguh kaya makna.

Kebahagiaan Sederhana

Truk "Jaga SS" tadi rupanya membuka pintu kontainernya. Siapa pun boleh menumpang. Sekelompok santri dayah menghentikannya. Kata mereka, sudah berjalan kaki sejak pukul satu siang.

Dengan riang mereka naik ke atas truk, di tengah genangan yang mengerikan. Ah, wajah-wajah mereka begitu bahagia. Sebuah kebahagiaan yang sederhana, tapi sangat menyentuh.

Di Mana BUMN Kita?

Bung Ansari pernah bilang, dulu saat tsunami, listrik padam tapi tak berhari-hari seperti sekarang. Gardu induk tumbang, kapal PLTD terlempar jauh. Sekarang, keadaan lebih baik, tapi kenapa sistem kelistrikan justru drop total dan solusinya tak kunjung datang? Ada apa dengan manajemen PLN?

Pikiran saya melayang ke masa lalu, ketika BUMN-BUMN vital dipimpin orang-orang seperti Kuntoro Mangkusubroto atau Dahlan Iskan. Ada Jonan yang membereskan kereta api. Ada Cacuk Sudarjanto di Telkom. Sekarang? Banyak yang kinclong di upacara, jago flexing, tapi gagap total saat krisis datang.

Sepanjang empat hari di Aceh, dari Banda Aceh sampai Takengon, kami tak sekali pun bertemu petugas PLN atau Telkom yang sedang berupaya mencari solusi di lapangan. Maaf, tidak ada!

Perjuangan Terakhir Menuju Banda Aceh

Melewati tiga genangan terberat adalah risiko yang harus diambil. Di satu titik, seorang pengendara motor terpeleset, motornya hanyut terbawa arus deras. Ngeri.

Di tanjakan terberat di Meureudu, genangannya paling dalam. Seorang petugas berjas hujan "POLISI" dengan sabar membimbing kami, menghindarkan roda dari lubang-lubang jalan yang sudah amblas. Alhamdulillah, kami berhasil lewati.

Macet luar biasa di Pidie. Kami dibelokkan lewat samping masjid besar, harus ekstra hati-hati karena banyak got terbuka. Saya dan Bung Ansari memutuskan turun untuk membimbing mobil dan meminta jalan. Setengah jam kemudian, kami akhirnya keluar dari genangan dan masuk ke jalan yang mulai kering.

Lalu, tiba-tiba, ada suara notifikasi ponsel. Sinyal! Kami serentak mengecek. Saya langsung menelepon istri, video call anak-anak. Air mata meleleh campur aduk: syukur, bahagia, juga sedih membayangkan teman-teman yang masih terjebak.

Perjalanan tiga jam berikutnya menuju Banda Aceh terasa lebih ringan. Menjelang magrib, kami singgah di sebuah masjid besar di Sigli untuk salat. Lampunya menyala dari genset, sinyalnya lumayan. Saya sempatkan telepon keluarga.

Pukul 21.30, kami akhirnya masuk Kota Banda Aceh. Penuh syukur. Kota itu gelap. Listrik padam. Tapi hotel dan kedai kopi penuh sesak oleh warga yang mengungsi mencari penerangan dan isi daya ponsel. Saya membatin, yang bisa menginap di hotel pasti cuma segelintir. Sebagian besar warga masih bertahan di rumah, dalam gelap, tanpa air bersih, tanpa komunikasi. Siapa yang menolong mereka?

Respon dari Jakarta

Saya kontak beberapa kenalan di pemerintahan, ceritakan keadaan sebenarnya. Seorang perwira tinggi strategis malah terperanjat. "Saya akan segera buat laporan untuk pimpinan," janjinya.

Saya juga hubungi seorang sahabat di media. Tak lama, beberapa wartawan menghubungi minta konfirmasi. Alhamdulillah, berita itu akhirnya tersiar. Harapannya, Jakarta sadar bahwa keadaan di Aceh jauh lebih serius dari yang mereka bayangkan.

Memang, mulai Jumat terlihat geliat respons. PMI dilibatkan. Tapi itu diselingi pernyataan blunder Kepala BNPB yang bilang bencana ini cuma ramai di media sosial. Sungguh tak bisa dikomentari. Posisinya sebagai pimpinan tertinggi penanggulangan bencana, tapi malah meremehkan. Belakangan dia minta maaf. Tapi dari bahasa tubuh dan pilihan katanya, jelas dia tak menghayati betul tugasnya. Ini cuma dianggap pekerjaan, jenjang karier. Pantas saja rakyat marah.

Pertanyaan yang Terbang ke Jakarta

Nyaris tengah malam saya masuk hotel. Pikiran kalut. Bersyukur tentu, tapi juga kecewa, sedih, dan marah. Marah karena aksi darurat yang semestinya sat-set, tak kunjung terlihat. Pak Taqwallah bercerita, Pemerintah Aceh baru saja menetapkan status bencana.

Subuh itu, Bang Zulfan, relawan PMI yang mengantar saya ke bandara, bercerita. "Di rumah, istri dan anak saya menunggu dalam gelap. Enggak ada komunikasi. Enggak ada air bersih, Pak," ujarnya lirih.

Batin saya bergemuruh. Jadi, rakyat kita, siapa yang menolongnya?

Saat menunggu boarding, seorang sahabat pengusaha mengirim pesan. Katanya, seorang pengusaha besar pun merasa negara tidak memberi reward yang pantas. "Kalau pengusaha tingkat dewa saja merasa begitu, bagaimana dengan rakyat kebanyakan?" tulisnya.

Saya sepakat. Pertanyaan itu terus terngiang, menyertai saya melayang di angkasa menuju Jakarta. Jadi, sebenarnya, siapa yang menolong rakyat kita?


Halaman:

Komentar