Hujan Ekstrem Sama, Biang Kerok Banjir Sumatera dan Jawa Berbeda

- Kamis, 11 Desember 2025 | 13:50 WIB
Hujan Ekstrem Sama, Biang Kerok Banjir Sumatera dan Jawa Berbeda

Beda Penyebab Banjir Sumatera dan Jawa

Memet Hakim
Pengamat Sosial dan Wanhat APIB

Air dan api punya karakter mirip. Saat terkendali, keduanya bermanfaat. Tapi kalau sudah besar dan liar, jadinya bencana. Besar kecilnya bencana itu seringkali bukan cuma soal alam, tapi juga ulah manusia yang serakah. Lingkungan harus dijaga itu mutlak. Tapi nyatanya, keserakahan pengusaha dan pejabat kerap memperparah keadaan.

Lihat saja data korban banjir di Sumatra dan Aceh per 9 Desember 2025: 961 meninggal, 293 masih hilang. Angka yang sangat besar. Ini menunjukkan kegagapan antisipasi. Relawan memang selalu bergerak, tapi kesannya tanggung jawab seolah cuma di pundak pemerintah.

Nah, soal penyebabnya, mari kita lihat dari sisi alam. Curah hujan tinggi dalam waktu singkat adalah pemicu utama. Kapasitas tanah menyerap air itu terbatas, cuma sekitar 200 mm atau setara 2.000 meter kubik per hektar. Lebih dari itu, air akan meluncur ke permukaan mencari tempat yang lebih rendah.

Kecepatan alirannya tergantung vegetasi dan kontur lahan. Di daerah berhutan atau kebun lebat, air dihambat oleh daun dan seresah. Alirannya jadi lebih lambat, memberi waktu untuk meresap.

Iklim juga berpengaruh. Wilayah seperti Jambi hingga Aceh punya iklim ekuatorial dengan hujan merata sepanjang tahun. Sementara Sumatera Selatan, Jawa, NTT, NTB, dan sebagian Kalimantan-Sulawesi punya pola monsun dengan musim hujan dan kemarau yang jelas. Belum lagi faktor air laut yang bisa menyebabkan banjir rob.

Menurut data BMKG yang dirilis awal Desember 2025, curah hujan di Aceh pada November lalu memang ekstrem. Di Bireuen bahkan mencapai 411 mm per hari. Saat kapasitas tanah sudah penuh, kelebihan air sebanyak itu sekitar 4.060 meter kubik per hektar langsung mengalir deras ke daerah rendah. Wajar saja banjir besar terjadi. Hal serupa terjadi di Sumatera Utara, Sumbar, dan daerah lain.

Lalu, bagaimana dengan tuduhan bahwa kebun sawit jadi biang kerok?

Memang, sawit menghasilkan oksigen lebih banyak daripada hutan. Tapi dari sisi penyerapan karbon, hutan tetap lebih unggul. Dalam beberapa hal, fungsi lingkungannya bisa dibilang setara. Apalagi di perkebunan sawit yang dikelola baik, biasanya ada upaya konservasi seperti pembuatan rorak, benteng, atau selokan drainase. Ada juga gawangan tempat pelepah sawit ditumpuk, yang lama-lama jadi bahan organik dan ditumbuhi gulma. Itu semua membantu menahan air.


Halaman:

Komentar

Terpopuler