Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia memang terlihat stabil. Selama tiga tahun terakhir, rata-ratanya bertengger di 5,04 persen per tahun. Tapi, apakah angka yang rapi di atas kertas itu benar-benar mencerminkan perbaikan nasib orang banyak? Ternyata belum tentu.
Eko Listiyanto, Direktur Pengembangan Big Data INDEF, punya pandangan yang lebih hati-hati. Menurutnya, capaian 5 persen itu belum cukup. "Pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan harusnya diiringi dengan daya beli yang naik, lapangan kerja berkualitas, dan investasi produktif," ujarnya.
Tanpa itu, stimulus yang diberikan pemerintah cuma akan berakhir sebagai solusi sesaat. "Stimulus yang tidak tepat sasaran cenderung bersifat sementara dan tak berdampak berkelanjutan," tegas Eko.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di balik stabilitas angka itu? Ada beberapa hal yang mengkhawatirkan.
Pertama, soal konsumsi rumah tangga. Meski jadi penyumbang terbesar pertumbuhan, angkanya cuma bergerak di kisaran 4,89 hingga 4,94 persen. Artinya, lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Masyarakat sepertinya masih berpikir dua kali sebelum membelanjakan uangnya.
Kedua, ada fenomena deflasi yang bikin pusing. Sejak Mei-September 2024 dan berlanjut ke awal 2025, harga-harga sempat turun. Kedengarannya bagus, ya? Nyatanya malah bikin efek jera. Konsumen dan pengusaha malah menunggu harga turun lebih dalam lagi, sehingga permintaan melemah dan ekonomi bisa terjebak dalam spiral negatif.
Di sisi lain, investor global juga tampak ragu-ragu. Ini terlihat dari penurunan investasi asing langsung (FDI) yang mencapai 8,87 persen pada triwulan III 2025. Ketidakpastian regulasi, soal perpajakan, dan infrastruktur yang masih tersendat disebut-sebut jadi penyebabnya.
Namun begitu, Eko juga melihat secercah pencapaian. Di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, pengendalian inflasi berjalan cukup baik, masih sesuai target di angka 2,86 persen. Ini tentu jadi fondasi penting.
Tapi, jangan senang dulu. Tantangan strukturalnya masih besar. Daya beli masyarakat tetap jadi masalah utama, padahal kontribusinya mencapai 50-60 persen bagi perekonomian.
Artikel Terkait
Mobil Bantuan Gizi Tabrak Siswa, BGN Tanggung Semua Biaya Perawatan
Sopir Pengganti Mobil Gizi Diduga Tersangka Tabrak Lari di Sekolah
Pasca Tragedi, Pondok Pesantren Al Khoziny Mulai Dibangun Kembali
Hujan Ekstrem Sama, Biang Kerok Banjir Sumatera dan Jawa Berbeda