Kesal dan kecewa itu nyata. Di media sosial, suara-suara warga terdengar lantang mengkritik ketimpangan antara pernyataan dan kenyataan yang mereka alami.
“Presiden megalomaniak. 12 hari kami mati lampu, gak ada jaringan internet, hidup dalam ketidakpedulian negara. Di kampung saya bahkan bantuan medis Malaysia datang jauh lebih cepat dari paket sembako berisi mi instan yang dikirimkan oleh negara ini,” ujar akun X @juvegaristabah.
Presiden megalomaniak. 12 hari kami mati lampu, gak ada jaringan internet, hidup dalam ketidakpedulian negara. Di kampung saya bahkan bantuan medis Malaysia datang jauh lebih cepat dari paket sembako berisi mi instan yang dikirimkan oleh negara ini. https://t.co/WY46mNUyrB
Keluhan itu seperti tamparan. Menggambarkan betapa dalam jurang antara kebanggaan di tingkat atas dengan keputusasaan di tanah yang terendam. Bagi mereka yang terdampak, bantuan nyata cepat dan tepat jauh lebih berarti daripada sikap menjaga gengsi di tingkat internasional.
Jadi, di satu sisi ada narasi kemandirian yang dibanggakan. Di sisi lain, ada rakyat yang menunggu, menghitung hari tanpa listrik, dan membandingkan kecepatan bantuan dari seberang lautan dengan kiriman dari pusat. Sebuah kontras yang sulit diabaikan.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam