Bumi Tak Butuh Kita, Tapi Kita Tak Bisa Tanpanya

- Rabu, 10 Desember 2025 | 20:06 WIB
Bumi Tak Butuh Kita, Tapi Kita Tak Bisa Tanpanya

Bumi ini sebenarnya baik-baik saja tanpa kita. Manusialah yang bergantung padanya untuk bernafas, minum, dan hidup. Coba bayangkan: sebatang pohon memberi oksigen, setetes air menghidupkan, segenggam tanah menyimpan jutaan kemungkinan. Semua itu ada tanpa syarat.

Nah, ketika kita merusak alam, sejatinya kita sedang menggerogoti masa depan sendiri. Setiap bencana punya ceritanya. Di balik banjir bandang atau tanah longsor, seringkali ada jejak kita hutan yang gundul, bukit yang terkikis, aliran sungai yang dipersempit seenaknya.

Seruan Nurani untuk Lingkungan Lestari

Kita gampang sekali menyebutnya "musibah alam" dan cuci tangan. Padahal, akar masalahnya kerap bersumber dari ulah manusia. Ambil contoh Sumatera. Dulu, hubungan manusia dan alam di sana harmonis. Sungai bukan cuma untuk mandi; itu adalah nadi kehidupan. Hutan lebih dari sekadar pepohonan; ia adalah rumah bagi ribuan makhluk dan penjaga keseimbangan yang tak tergantikan. Alam dihargai, bahkan dikeramatkan.

Tapi semuanya berubah.

Seiring waktu, ambisi dan gaya hidup kita perlahan merenggangkan ikatan itu. Industrialisasi dan nafsu konsumsi mengalahkan segalanya. Lihat saja sekarang: sungai-sungai jadi tempat pembuangan limbah, hutan dibabat habis tanpa penanaman ulang yang berarti, laut dipenuhi sampah plastik yang butuh ratusan tahun untuk terurai. Sungguh miris.

Menurut sejumlah saksi dan aktivis di lapangan, setiap bencana ekologis sebenarnya adalah puncak gunung es dari kisah panjang keserakahan. Hutan digusur untuk proyek megah, tambang menggerus ruang hidup masyarakat adat, izin lingkungan kadang terbit begitu mudahnya di atas meja yang penuh kepentingan. Pola pikir kita telah bergeser: dari penjaga menjadi penguasa yang rakus.

Bumi adalah Kita


Halaman:

Komentar