“Ini tentu hal yang universal sebetulnya. Semua orang tahu, di NU juga begitu, tidak ada aturan khusus tentang hal itu,” paparnya lagi.
Sebelumnya, memang telah terjadi dinamika panas. Pada Selasa (9/12), para pengurus PBNU di bawah Rais Aam KH Miftachul Akhyar menggelar rapat pleno. Hasilnya, mereka menunjuk KH Zulfa Mustofa sebagai Pj Ketum, menggantikan Gus Yahya. Kiai Zulfa direncanakan bakal bertugas hingga Muktamar 2026 digelar.
Namun begitu, keputusan ini langsung menuai bantahan keras dari kubu Gus Yahya. Sekjen PBNU versinya, KH Amin Said Husni, menyoroti kelemahan hasil rapat tersebut. Ia mengingatkan, sudah ada pesan dari para kiai sepuh NU dalam pertemuan di Pondok Pesantren Tebuireng agar tidak buru-buru menunjuk Pj sebelum masalah pencopotan Gus Yahya benar-benar jelas.
“Soal Pj Ketum, kami sangat menyesalkan hal itu. Karena dawuh [pesan] para kiai sepuh waktu pertemuan di Tebuireng kan sudah sangat jelas. Beliau-beliau meminta agar jangan ada pembahasan dan penetapan Pj Ketum dulu sebelum masalah pemakzulan itu clear,” kata Kiai Amin.
Ia juga mempertanyakan legitimasi rapat itu dari sisi kehadiran. “Apalagi legitimasi acara di Sultan itu sangat lemah. Yang hadir hanya 50-an orang. Padahal anggota Pengurus Besar Pleno itu 200 lebih. Jadi hanya seperempat. Lemah banget legitimasinya,” pungkasnya dengan nada kesal.
Jadi, situasinya masih mentah. Dua kubu bersikukuh pada pendirian masing-masing, dan jalan buntu ini tampaknya belum akan segera menemui titik terang.
Artikel Terkait
Rekonstruksi Tertutup Ungkap 13 Adegan Kasus Dosen vs Dokter di RS Sultan Agung
Kudeta Merangkak: Skenario Panjang Jokowi-Gibran dan Ujian Terberat Prabowo
Kebakaran Jakarta Renggut Nyawa Alumni Terbaik Teknik Geofisika Itera
Pesan Pamitan Ervina di Balik Kobaran Api Kemayoran