Air menghanyutkan rumah, impian, segala yang dimiliki. Sementara itu, para pemimpin justru berdiri tegak di menara kekuasaan. Mereka bagaikan patung yang lupa asal-usulnya. Status bencana nasional pun ditolak, dengan alasan, “Kita kuat.”
Memang kuat. Kuat membiarkan rakyatnya terendam, kuat menunggu korban berjatuhan, bahkan kuat menolak bantuan dari luar negeri hanya demi menjaga gengsi yang sebenarnya sudah retak.
Alangkah "mulia"-nya mereka. Para penjaga martabat semu ini lebih takut dicap lemah daripada menyaksikan bangsanya sendiri terkapar meminta pertolongan di tengah hujan yang tak kunjung reda. Ini bukan sekadar kikir. Ini keangkuhan yang menusuk langsung ke jantung kemanusiaan kita.
Pemimpin yang membiarkan rakyatnya mati, padahal bantuan sudah mengetuk pintu, bukan cuma sombong. Dia adalah algojo. Algojo yang sengaja menunda eksekusi agar penderitaan lebih panjang. Ia membunuh lewat keengganan, lewat gengsi, lewat pintu-pintu yang dengan sengaja dikunci. Banyak nyawa yang hilang bukan karena derasnya arus, melainkan karena kelaparan yang lahir dari kesombongan yang telah membatu, bagai nisan di kuburan massal.
SHADAQAL LAAHUL ‘AZHIEM
Rilis BNPB
30 November 2025: korban tewas 116 orang 8 Desember 2025: korban tewas 964 orang
Artikel Terkait
Liputan KPK Berujung Intimidasi, Jurnalis iNews TV Diserang di Rumah Dinas Bupati
Hakim yang Pernah Divonisnya Jadi Penyelamat di Tengah Banjir Aceh
Gus Ipul: Bantu Korban Bencana Dulu, Urus Izin Kemudian
Tambang Ilegal Tiga Dekade: Negara Rugi Rp 13.000 Triliun, Modusnya Paket Komplit