Kedua, bencana dalam Islam bukan vonis mutlak.
Kalau penderitaan jadi tolak ukur murka Allah, lalu bagaimana dengan rakyat Palestina? Mereka menderita puluhan tahun, dibom, kelaparan. Beranikah kita bilang mereka diazab karena pendosa? Di sisi lain, pemukim ilegal Zionis justru terlihat makmur. Apakah itu tanda mereka diridhai? Atau kita sebut itu istidraj?
Jadi, musibah bagi muslim bisa punya banyak makna: ujian untuk naik derajat, teguran, atau kaffarah penghapus dosa. Status yang mana? Hanya Allah yang tahu. Manusia yang sok tahu dan melabeli “ini pasti azab” itu cuma oknum lancang yang melampaui batas.
Ketiga, sikap muslim yang baik.
Bencana seharusnya jadi muhasabah untuk mawas diri, bukan alat untuk menghakimi dan menunjuk hidung orang lain. Saat musibah datang pada saudara kita, tugas kita adalah membantu dan mendoakan mereka. Kalau kita malah sibuk menganalisis “dosa orang” sebagai penyebab bencana, itu namanya mempraktikkan “Teologi Iblis”. Merasa diri suci, lalu memandang rendah orang lain.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran, bukan saling menyalahkan. Dan tentu, semoga bermanfaat.
(fb)
Artikel Terkait
Mengenal Diri Sendiri: Kunci Pendidikan yang Tak Lekang oleh Waktu
Ijazah Jokowi Diperlihatkan, Kasus Siap Berlanjut ke Meja Hijau
Hakim Agung Haswandi Tutup Usia, Tinggalkan Jejak Panjang di Dunia Peradilan
Tora Sudiro Jual Moge Demi Tabungan Masa Depan Cucu