JK mendengar, lalu diam sejenak. Tatapannya tajam. Kemudian, dengan suara datar tapi penuh wibawa, dia memberi perintah yang tak terlupakan.
"Saya nggak mau tahu caranya. Ambil pistol, tembak gembok itu. Sekarang."
Begitulah. Esok paginya, ratusan ton obat-obatan darurat sudah dibawa pesawat Hercules TNI, mendarat di tengah puing-puing Aceh. Semua berjalan cepat. Saat nyawa manusia jadi taruhan, prosedur birokrasi harus rela minggir. Kepemimpinan dalam krisis seperti itu bukan cuma soal aturan, lebih dalam lagi: soal nyali untuk bertindak dan menyelamatkan.
Kini, dua puluh tahun sudah berlalu. Aceh kembali berduka, dilanda banjir bandang yang parah. Luka lama seakan kembali terbuka.
Kita semua berharap, dalam situasi genting seperti sekarang, masih ada pemimpin yang punya keberanian untuk berkata, "Tembak gemboknya." Sayangnya, realitanya tak selalu semudah itu.
Artikel Terkait
Zulfa Mustofa Pikul Dua Tugas Berat sebagai Penjabat Ketum PBNU
Natal Bersama di Kemenag: Langkah Kontroversial Nasaruddin Umar yang Kembali Picu Sorotan
Prabowo dan PM Pakistan Serukan Solusi Dua Negara untuk Palestina
Sembilan Jam di Tengah Banjir: Kisah Perjalanan Mencekam Sudirman Said dan Mitigasi yang Tertinggal